This is my second post for today.
I want to remembering my mom in person.
Kalau dibilang apakah aku 'anak ibu'? Sebenarnya, aku lebih menyebut diriku anak Bapak. Selalu sedih setiap bapak berangkat ke kampus, dan selalu bahagia melihatnya pulang. Seharian bersama ibu di rumah terlalu membosankan. Di mataku, selama aku hidup bersama selama 24 tahun, ibu adalah sosok yang galak dan otoriter. Dia gak pernah menyayangiku seperti bapak yang mau-mau aja gitu aku peluk dan cium. Ke ibuku? Mana pernah aku begitu.
Ibuku selalu mengancam membawa 2 pisau ketika melihat aku dan adikku bertengkar.
"Ibu kasih pisau satu-satu, berantem di luar sana!"
Menurutku itu sangat tidak baik.
Terkadang, sebagai orang tua aku jarang melihat ibuku mengalah. Selalu kami yang mengalah. Contoh kecilnya, saat dia memasak sop, ia hanya akan makan bakso serta kentangnya saja. Sementara kami? Harus banyak-banyak makan wortel, biar matanya sehat. Sungguh curang. Tapi, kami mau saja.
Aku ingat sekali, betapa ibuku rugi menjadi manusia. Kenapa rugi? Soalnya di antara makanan yang enak, bisa dihitung pakai jari yang ibu doyan daripada yang enggak. Tahu taoge? Iya, kecambah yang itu. Mana coba ibu doyan. Gak sama sekali. Apa salah taoge coba?
Taoge tidak sendiri. Masih ada kol, wortel, buncis, bayam, labu siam, telur, susu, durian, buah naga, keju, santan, dkk yang juga ia tak doyan. Banyak, ya? Maka itu, kusebut ia rugi menjadi manusia. Sementara aku? Aku sangat menikmati lodeh dan sambal goreng kacang tolo buatan ibu yang saaaaangat digemari bapak. Makanya, dengan bangga aku menyebut diriku anak bapak.
Sementara aku anak bapakku, adikku adalah anak ibuku. Kami menghabiskan sebagian besar waktu kami untuk bertengkar. Ketika kami memasuki usia dewasa, intensitas bertengkar pun juga tidak berkurang. Malah, permasalahan lebih kompleks, seperti jatah siapa sekarang yang boleh membawa laptop ke kampus. Aku gak bisa memilih siapa keluarga terlebih orangtuaku dari awal. Walau menurutku, mempunyai 1 unit laptop bermerek terkenal merupakan suatu kemewahan bagi keluarga kami.
Sedari kecil, aku selalu ingat setiap kami nakal, ibu selalu bermain tangan. Semakin aku besar, benda apapun yang di dekatnya pasti menjadi senjatanya. Aku ingat sekali ibu menusuk pensil di punggung tanganku karena aku tidak bisa mengerjakan soal matematika saat SD. Walau kutahu setelah itu dia menyesal dengan mengoleskan minyak tawon di lukaku, hatiku selalu sakit setiap kali mengingatnya. Bahkan, hingga kini.
Aku seringkali dipukul, disabet pakai sapu lidi, dilempar pakai kursi plastik. Aku bahkan ingin mati saat usia SD, dan bertanya pada Allah setiap harinya: "kapan aku mati, sih? Aku gak tahan disakiti ibuku."
Setelah menikah, aku sungguh senang bisa keluar dari rumah. Hidup bersama ibuku kusebut ujian. Aku bahkan sempat berpikiran tidak sudi memiliki anak perempuan. Itu semua karena hubunganku yang tidak baik dengan ibuku. Di suatu pertengkaran, aku bahkan pernah bersumpah akan menjauhkan anakku dengan ibuku--yang mana sekarang aku sesali.
Walau sumpahku itu kusesali, aku sangat bersyukur, anakku disayang sekali oleh ibuku. Apa mungkin karena anakku laki-laki, seperti hal-nya adikku? Kalau anakku perempuan, apa mungkin lain ceritanya?
Di atas semua kekecewaan dan kebencianku pada ibu atas masa lalu, aku bersyukur sempat diberi waktu untuk mengurus ibuku. Ternyata, pertengkaran dan segala kejahatan yang ibuku lakukan, membuatku menjadi manusia yang tabah dan kuat. Aku menjadi lebih menghargai waktu bersama keluargaku, terutama ibuku. Aku dan suamiku suka berandai-andai, betapa Allah mendekatkan kami semua dengan cara bapak dan ibuku sangat bergantung pada kami. Suamiku hampir tidak pernah mengatakan "tidak" pada orang tuaku. Dan aku sangat bangga padanya.
Semakin dewasa, aku semakin menyadari. Walau susah mengakui ini, tapi aku percaya ibu menyayangiku dengan caranya--walau rada ekstrem memang ya! Begitupun aku, aku mencintai Birru dengan sepenuh hidupku dan dengan caraku. Aku ingin Birru tahu, kami orangtuanya ini adalah rumah baginya. Ketika ia sedih, tersesat, atau bahagia, kami ingin selalu menjadi 'rumah' untuknya.
Dari ibu, aku pun belajar ikhlas. Saat bapak menunjukkan tanda-tanda akan 'pergi', kami membicarakannya seolah sedang membahas tentang harga telur. Santai dan menerima kenyataan. Di mataku, ibu berubah drastis dari yang marah-marah karena kecapaian pasca-operasi dan harus mengurus bapak, tiba-tiba ikhlas dan sabar mengurus bapak. Saat aku tanya kenapa ibu begitu: "ibu kemarin berdoa minta diberikan kesabaran sama Allah, mungkin sudah dikabulkan".
Begitupun denganku, di hari yang seharusnya aku masuk kantor untuk pertama kali setelah libur tahun baru untuk mengajukan pengunduran diri, hari itu ibu 'pergi' dan dimakamkan. Sebenarnya, rumus-Nya kalau dipikir dan dilihat dengan kasat mata, benar-benar tidak equivalent. Ketika kita ikhlas berkorban, kenapa diberi ujian? Itu kan pikirmu? Aku pun pernah berpikir seperti itu. Tapi aku saaaaangat percaya, Dia gak akan memberi ujian di luar kesanggupanku. Buktinya? Hari ini aku sanggup berangkat ke kantor, sanggup bangun pagi untuk masak--seperti rutinitasku biasa, sanggup marah-marah ketika Birru lama sekali mandi, sanggup untuk menahan sakit gigi geraham bungsu di bagian kiri atas.
Sekuat-kuatnya manusia, pasti aku sering jatuh sedih. Ada jatuh cinta, ada juga dong jatuh sedih. Aku kerap sedih jika sesekali terbayang "wah aku yatim piatu nih, gak ada tempat untuk mengadu". Padahal, aku punya Allah, di mana satu-satunya tempat ku mengadu. Lalu, aku hanya sanggup mengirim Al Fatihah dan beberapa doa untuk kedua orang tuaku.
Terima Kasih bapak ibu. Satu tahun ini pelajaran yang saaaaaangat luar biasa. Aku gak bisa jadi aku yang seperti ini kalau nggak ada kalian. Nggak apa-apa dong ya kalau sesekali aku rindu dan menangis. Tokh manusiawi.