Friday, October 30, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 30

"What you feel when you write"

Saya ingat-ingat, saya memulai menulis di blog sekitar tahun 2010. Waktu itu, senior saya di kantor lama, seperti menantang saya. Dia seperti mempertanyakan skill saya, yang pada saat itu mungkin hanya kuliah sambil bekerja. Akhirnya, saya membuat blog dan mulai menulis di blog ini. 

Tahun-tahun pertama menjadi blogger, saya baru menyandang status sebagai Ibu. Saat itu, segala pencarian yang berkaitan dengan bayi, saya mencarinya di blog. Media sosial belum setenar sekarang. Marketplace pun belum terlalu banyak. Saya merasa tertantang untuk menulis segala hal tentang Birru. Sifatnya sharing, sih. Saya menulis tentang kisah kelahiran, mom-shaming, per-ASI-an, post partum depression, dan sebagainya. Sampai Birru balita pun saya masih sharing tentang dokter gigi anak dan dokter anak favorit. 

Semakin ke sini, saya seperti butuh 'tempat' lain untuk berkeluh kesah. Akhirnya, pilihan jatuh ke media sosial, khususnya Instagram. Blog mulai teralihkan, karena saya kebanyakan menulis di feed Instagram. Lalu, Instagram memiliki fitur story. Makin-makin lah saya menulis (hampir) segala hal di sana. Dari segala urusan tentang anak, saya jadi hobi menulis tentang hal-hal berbau akomodasi dan wisata--yang tentunya ramah anak. 

Tapi, saya tetap butuh ruang menulis sendiri, yang pada akhirnya disimpan sendiri di USB dalam bentuk file word. Saya menulis naskah novel (belum selesai), naskah buku umum tentang destinasi wisata (juga belum selesai), kumpulan surat untuk mendiang kedua orang tua, dan tulisan lainnya. Hingga pada suatu hari, ada yang mengenalkan saya dengan aplikasi Wattpad. Akhirnya, saya mengalihkan beberapa tulisan saya di Wattpad. Apa lantas membuat saya tenang? Ya, tentu belum. Di Wattpad, saya memutuskan menggunakan nama pena. Ternyata, saya merasa nyaman sekali. 

Saat menulis, biasanya saya mengikuti suara bising di otak. Kalau kayak harus banget menulis, tapi gak ada kertas atau alat tulis di dekat saya, saya menulisnya di aplikasi Notes di ponsel. Bentuknya bisa apa saja, namun seringnya berbentuk prosa. Saat saya marah, butuh memaki, butuh menangis tapi lelah, atau merasa terlalu bahagia, saya akan menulisnya. Lalu, apa lantas lega? Sedikit banyak, iya. Terlebih, kalau pasangan saya memuji atau memberi masukan tentang tulisan yang saya buat. Tapi, bukan berarti saya menulis  untuk minta pujian, ya. Intinya, saya menulis untuk diri sendiri--untuk saya nikmati sendiri di kemudian hari. Kalau lantas dipuji, ya itu bonus aja. 

Akhirnya, tantangan selesai juga. Bakal kehilangan kebiasaan menulis setiap malam, sih. Alhamdulillah juga masih bisa konsisten menulis. Kalau ada tantangan menulis yang menarik, ajak-ajak, ya! Terima kasih, semuanya. Terima kasih sudah mengikuti tantangan #30DWC from day one. See ya!

Thursday, October 29, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 29

"Goals"

Bicara soal tujuan hidup, wah banyak sekali kalah haris dijabarkan satu-satu. Apalagi jika itu menyangkut mimpi versus keinginan versus kebutuhan. Bisa nggak kelar-kelar tulisan ini. Tapi, saya coba menuliskannya secara sederhana.

Pertama, saya ingin menjadi pribadi yang lebih bahagia. Saya sebenarnya mudah dibikin bahagia. Mencium aroma tanah yg terkena hujan, bahagia. Mencium aroma dedaunan saat berkendara di tengah kota, bahagia. Minum kopi enak, bahagia. Memiliki quality time bersama pasangan--meski hanya mengobrol tentang hal remeh, juga bahagia. Tapi, jujur aja, setelah nggak punya orang tua, saya belum mampu memutuskan sendiri tentang suatu hal yg menyangkut hidup saya. Contohnya, seperti pingin punya tempat tinggal pribadi di suatu daerah, demi kebahagiaan mental. Tapi, ya tentu saja banyak hal yang harus dipikirkan terlebih dahulu.

Kedua, saya ingin menjadi pribadi yg lebih sehat. Saya ingat sekali, tak lama setelah bapak wafat, saya turun berat badan sekitar 4 kg. Ada yg bilang saya lebih segar, tapi banyak juga yang bilang saya seperti tak lagi bersemangat. Selain berduka, saya waktu itu sempat memutuskan rajin detoks setiap hari demi bisa menemani pengobatan kanker ibu. Saya harus lebih sehat dan kuat demi Ibu. Ditambah juga, sebenarnya ada satu gangguan kesehatan yang saya alami bahkan sejak kehamilan Birru. Ke depannya, saya akan melakukan pengobatan menyangkut penyakit tersebut sebelum (misalnya) memutuskan hamil kembali. Selama 4 tahun, terakhir saya juga sudah tidak mengkonsumsi mie instan. Tapi, ya itu juga sebenarnya menyangkut kebiasaan, bukan kesehatan. Intinya, pingin lebih peka atas kesehatan diri demi orang-orang tersayang.

Ketiga, saya ingin mandiri secara finansial. No need to explain, lah, ya.

Keempat, saya sebenarnya seperti punya cita-cita terpendam untuk sekolah lagi dan juga mewujudkan cita-cita untuk kembali menjadi jurnalis.

Mungkin itu saja, sih, tujuan hidup sederhana yang saya inginkan ke depannya. Semoga keinginan tersebut dan juga keinginan pembaca postingan saya kali ini segera terwujud, ya. Aamiin ๐Ÿ™‚

Wednesday, October 28, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 28

"Write about Loving Someone"

Di sepanjang kisah percintaan saya, kayaknya saya yang paling sering jatuh cinta sama orang, deh. Hahaha! Tapi, seringkali juga cintanya bertepuk sebelah tangan, sih. Ada yang memang karena nggak suka sama saya, ada yang kasihan, ada yang malah sukanya sama sahabat saya, ada yang juga malah jadiin saya taruhan. Kayaknya, hampir bisa dihitung dengan jari yang berdasar karena suka sama suka. 

Seperti yang pernah saya ceritain di sini, saya pernah suka banget sama senior Paskibra saat SMA. Semacam love at the first sight gitu, deh. Saya nekat menembak dia di minggu pertama saya masuk SMA. Surprisingly, saya langsung diterima. Belum sebulan kami jadian, ternyata dia sudah punya pacar. Nggak cuma 1, tapi 2, hahaha! Bodohnya, karena sayang banget sama dia, saya masih mau berpacaran sama dia. Ah, dasar cinta buta.  

Semasa kuliah, saya pernah naksir berat sama senior saya. Secara fisik, sih, kayaknya nggak jadi incaran cewek-cewek. Soalnya buluk dan cuek abis gayanya, hahaha. Tapi, dia super perhatian. Kami sempat dekat, eh taunya dia naksir sahabat saya. Tapi, saya nggak lantas patah hati, sih. Malah saling jadi tempat curhat dan berteman hingga sekarang. 

Soal suka sama suka, mungkin terjadi di kisah percintaan terakhir saya. Seru aja, sih, rasanya sama-sama suka di waktu yang pas. Terlebih, awalnya juga udah sama-sama jadi teman, dekat, jadi masing-masing semacam kayak nggak perlu mengulang cerita tentang kesukaan dan tentang diri sendiri lagi. Mostly, kami menghabiskan banyak waktu untuk mengobrol dan saya sangat menikmatinya. Kenapa di waktu yang pas? Karena saya merasa seperti diangkat dari titik terendah yang pada saat itu sedang saya alami. Dia nggak cuma menyayangi saya dari 'sampulnya' aja, tapi juga trauma, masa lalu, dan ketidaksempurnaan saya. Karena berawal dari teman, saat kini berpasangan pun kami kerap kali memposisikan diri sebagai teman. Saya nggak pernah canggung membicarakan pekerjaan yang saya jalani, walau seringnya saya yang malah suka kurang paham (dan sabar) saat dia membicarakan pekerjaannya. Kami juga sangat menghormati privasi masing-masing, dari sekadar tak saling kepo dengan isi ponsel dan memiliki jatah me time masing-masing. Contohnya, saya dengan Netflix dan dia dengan games serta sesi olahraganya.

Jujur, ini salah satu tantangan tulisan terberat, deh. Saya tumben bingung mau nulis dari segi apa, hahaha. Jadi, mungkin terkesan agak sama dengan beberapa tema dari tantangan sebelumnya. Sekian untuk #30DWC hari ini. Sampai jumpa besok!


Tuesday, October 27, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 27

"Someone who inspires me"

Mungkin bukan seseorang, tapi beberapa orang. Pertama, adalah bapak saya. Laki-laki pertama yang saya cintai di dunia ini ya Bapak saya. Dari dia, saya belajar berbagai bentuk sabar dan maaf. Dia orang pertama yang memberi contoh kepada saya bahwa semua manusia itu sama. Jangan lihat manusia dari gendernya, agamanya, suku atau adatnya, dan juga miskin atau kayanya. Dari Bapak, saya belajar punya banyak teman. Hal ini terbukti saat Bapak meninggal. Banyak kolega dan mahasiswanya, yang bahkan saya tidak kenal, sampai ikut bermalam di rumah hingga Bapak dikebumikan esok hari. Bapak juga orang yang paling tidak pelit ilmu. Selain sebagai dosen, dia juga masih mau ikut andil dalam pendidikan anak-anaknya. Bapak juga mengajarkan saya bahwa belajar itu sampai kapan pun. Sampai menjelang sakit, Bapak tidak henti membaca dan bahkan dimintai banyak pendapat oleh para mahasiswa dan koleganya. Bapak juga pantang menyerah. Saya baru benar-benar melihat dia kepayahan saat menjelang wafat. Sebelumnya, beliau adalah manusia yang pantang telat beribadah dan pantang berhenti untuk belajar. Al Fatihah.

Kedua, adalah ibu saya. Di beberapa postingan saya, saya pernah bercerita bahwa saya benar-benar baru dekat dengan Ibu, saat ia divonis kanker di 2017. Kami jadi punya banyak waktu luang, untuk berbicara tentang hidup, mengobrol tentang anak, tentang rumah tangga, dan bahkan obrolan basa-basi lainnya. Dari sakitnya, saya melihat kegigihannya. Pantang menyerah Ibu dalam melawan sakitnya sungguh tiada bandingannya. Setelah melahirkan, saya sempat merasa sedikit 'jumawa' karena satu posisi dengan ibu--sama-sama seorang ibu. Ternyata sampai beliau berpulang pun, saya tak ada seujung kukunya pun. Dari peristiwa meninggalnya Bapak, saya melihat kesabarannya. Kesabaran menghadapi kemoterapi tanpa Bapak di sisinya dan juga kesibukan anak-anak yang takut ia rusak. Di satu sisi, Ibu ingin anak-anaknya sukses. Tapi, di sisi lain, saya tahu, Ibu ingin menghabiskan sisa waktunya bersama kami. Dalam sakitnya pun, ia masih memikirkan Birru. Beliau seperti ingin menyusun memori agar selalu diingat Birru. Dari wafatnya Bapak yang sungguh serba tiba-tiba, Ibu berupaya menyiapkan risiko terburuk yang terjadi pada dirinya, dan menyiapkan kami sebagai anaknya. Keuletan dan kegigihan Ibu saya, akan selalu terkenang dan terpatri sampai selamanya. Al-Fatihah.

Ketiga, Birru. Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, saya justru banyak belajar bagaimana menjadi pemaaf dan penyabar dari anak ini. Anak 7 tahun yang saya banggakan. Sesosok yang nggak bikin saya berhenti belajar dan belajar. Dari Birru, saya juga belajar melihat segala hal dengan sederhana. Melalui matanya, saya melihat kesederhanaan itu. Ada dia, saya bahagia.

Terakhir, dia yang tersayang. Darinya saya belajar banyak hal. Darinya, saya belajar untuk melihat ketidaksempurnaan menjadi suatu hal yang tidak jadi masalah. Darinya, saya belajar untuk tidak menuntut. Darinya, saya belajar untuk tidak berhenti bermimpi. Darinya juga, saya belajar untuk mempelajari banyak hal dan gali potensi di dalam diri. Berada di dekatnya, saya bahagia dan selalu merasa percaya diri. Dia juga tak henti mendorong saya untuk tetap bekerja dan gigih meraih mimpi. Dari ia pula, saya belajar menjadi seorang yang kreatif. Karenanya, saya belajar untuk tak mudah putus asa dan bodo amat dalam menghadapi orang/hal yang nggak penting di dalam hidup kita. Terima kasih ๐Ÿ˜Š

Tak terasa, 3 hari lagi tantangan berakhir. Semangat, Prita! 

Sampai ketemu besok, ya!

Monday, October 26, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 26

"School"

TK dan SD saya masih berada di satu area. Benar-benar yang tinggal jalan kaki, sampai, deh. Terkadang dulu suka mikir, kok nggak menarik amat ya rumah saya saking dekatnya. Suatu ketika, sempat loh akal-akalan sama supir jemputan pas TK. Biasanya, saya selalu diantar paling duluan. Kali itu, saya minta diantar paling akhir agar bisa jalan-jalan. Eh pulang-pulang malah dimarahin Ibu karena beliau nyariin. Pak supirnya juga ikut kena marah Ibu ๐Ÿคญ. Al Fatihah untuk Pak Sudjiman, pak supir tersayang. 

Waktu SD, saya berbadan agak gemuk. Sampai-sampai, teman saya memanggil "kembung". Sebenarnya, saya nggak suka. Tapi, daripada kehilangan teman, ya sudah saya terima aja panggilan itu. Saya baru dipanggil "Prita" saat sudah memberi contekan kepada mereka. Menyebalkan, sih. Saat SD, Ibu menargetkan saya dan adik saya untuk selalu mendapat ranking. Saya pernah sekali dapat ranking 1. Sisanya, ranking 2 dan ranking 8 (saat lulus kelas 6). Dibilang pintar, saya nggak merasa begitu. Ibu saya selalu ikut andil dalam metode pembelajaran saya. Saat esok hari akan ada ulangan, Ibu saya akan menggarisbawahi materi ulangan, dan meminta kami menghapalkan materi tersebut. Setelah itu, ibu akan melakukan tanya jawab mengenai materi yang sudah kami pelajari. Rasanya, yaaa, persis kayak lagi interview kerja terus dapat user yang killer gitu, deh. Kalau nggak bisa jawab, lumayan lah, mulai dari diceples pahanya pakai telapak tangan Ibu, atau pakai sapu lidi. Hehehe...

Lulus SD, saya nggak diterima masuk SMP favorit. Walau nggak favorit, sekolah saya masih SMP negeri. Masa SMP adalah masa yang nggak saya suka. Saya hampir nggak punya teman yang benar-benar dekat di masa itu. Pernah ikut ekskul, eh disuruh keluar sama Ibu. Kuper banget, deh. Sekalinya dekat, sama kakak kelas, walau nggak berujung pacaran. Gara-gara ini, saya sempat dilabrak pacarnya karena dikira merebut si kakak kelas, padahal mereka putus pun nggak. Long story short, mereka akhirnya putus saat lulus SMP. Ya, tapi, nggak ada hubungannya dengan saya juga, sih. Saya punya satu kebiasaan saat saya SMP. Sampai di sekolah, saya pasti langsung ke kantin untuk beli tisu dan biskuit. Setiap hari. Nggak ingat juga, sih, alasan punya kebiasaan itu. Cuma, saya ingat ada teman saya saat SMP baru-baru ini bilang ke saya: "lo dulu khan suka banget beli tisu dan biskuit di kantin setiap pagi" ๐Ÿ™ƒ. Pelajaran yang paling saya tidak suka di SMP adalah Fisika. Saya pernah tidur di kelas saat pelajaran Fisika, mana guru Fisika itu juga wali kelas saya pula. Ingat banget, saya disuruh ke kamar mandi buat cuci muka. Paling ada satu masa di SMP yang saya suka, waktu saya les di sebuah bimbel saat kelas 3. Saya jadi punya teman dekat yang berbeda sekolah. Seru, aja, sih. Nggak jodoh sama satu sekolah, malah punya teman dari beda sekolah. Saya juga ingat banget pernah kena cacar air menjelang UN SMP. Bahkan, saat UN, cacar saya belum kering benar. Padahal sudah satu minggu belajar di rumah. Mau nggak mau, harus pakai jaket hoody yang menutupi seluruh badan, dan datang ke sekolah untuk UN. Hahaha!

SMA adalah salah satu masa yang saya suka. Selain karena punya banyak teman, akhirnya di SMA saya benar-benar bisa cinta sama Matematika. Guru tuh sama kayak pacar, jodoh-jodohan. Guru Matematika saya di SMA keren banget, tapi di mata saya. Di mata yang lain, ia mungkin seorang bapak-bapak Batak yang killer. Tapi, saya suka banget dengan metode belajar guru saya itu. Memang dasar jodoh, saya diajar beliau dari kelas 1 hingga kelas 3, nggak pernah diganti orang lain. Selain guru Matematika, guru sejarah saya cool banget. Dulu, dia jadi guru paling muda di sekolah. Saya dan teman saya terkadang suka 'godain' dan makan saat jam pelajarannya. Tapi, serius, dia enak banget mengajarnya. Walaupun jadi salah satu masa yang saya suka, banyak juga, sih, hal nggak mengenakkan di sekolah. Contohnya, pernah ranking 2 tapi ada nilai merah di rapor (mata pelajaran penjaskes), rok saya pernah digunting wakepsek, putus sama cowok hingga melibatkan guru BP, pingsan saat lomba paskibra, pacar direbut adik kelas, ah banyak lagi, deh! Tapi, benar, deh, masa SMA ini saya benar-benar dikelilingi teman-teman yang baik, walau sekarang sudah banyak yang hilang kontak, huhu.

Saya berkuliah di salah satu universitas negeri di Depok. Saya mengambil dua jenjang, jenjang D3 (2005-2008) dan jenjang sarjana (2008-2010). Keduanya di kampus yang sama, walau beda fakultas. Mungkin di beberapa postingan sebelumnya, saya pernah bercerita sekilas tentang kehidupan saya di kampus. Walau saya cinta mati sama fakultas tempat saya mengambil jenjang D3, tapi saya lebih suka kuliah di fakultas tempat saya mengambil gelar sarjana. Saat berkuliah, saya merasakan segala pengalaman, mulai dari naksir senior tapi bertepuk sebelah tangan, kehilangan teman, mengandalkan diri sendiri untuk menyelesaikan tugas akhir, dan juga punya banyak sekali teman baru dari berbagai jurusan. Saat lulus D3, saya sempat magang di rektorat kampus selama beberapa waktu. Bahkan, di akhir 2012, saya sempat menjadi CPNS di tempat saya berkuliah (walau akhirnya memutuskan keluar).

Itu saja paling yang bisa saya ceritakan tentang masa-masa saya saat berstatus pelajar/mahasiswa. Mungkin agak panjang dan membosankan. Tapi, semoga terhibur sedikit, ya? Sampai jumpa besok di #30DWC besok, ya!

Sunday, October 25, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 25

"Something inspired of the 11th image on your phone"


Gambar di atas adalah gambar ke-11 yang ada di galeri ponsel saya. Saya ingat sekali, gambar itu saya ambil di tengah kesibukan mengejar deadline naskah buku umum. Hari itu sebenarnya bukan jadwal saya masuk kantor. Sebagai info, kantor saya memang menerapkan jadwal WFO dan WFH secara bergantian selama masa pandemi. Di luar itu, kami diperbolehkan masuk sewaktu-waktu ada urgensi.

Seperti yang bisa dilihat pada gambar, barang-barang tersebut adalah barang wajib bawa saya setiap keluar rumah, di luar cadangan masker kain dan disposable. Hari itu, saya sedang mengedit naskah biografi singkat Sutan Sjahrir. Seorang teman baik saya, yang juga lulusan ilmu sejarah, meminjamkan saya salah satu 'harta karun' Sutan Sjahrir. Buku itu merupakan salah satu bukti sejarah yang berisi surat-surat Sutan Sjahrir kepada istrinya, saat ia sedang diasingkan ke Banda Neira dan Boven Digoel. Sang istri menyimpan surat Sjahrir, membundelnya, dan mencetaknya hingga menjadi sebuah buku. Kalau saja Sjahrir tak terpikir menulis surat kepada istrinya, mungkin saja ia tak pernah disebut sebagai salah satu bapak bangsa dengan sebutan "Bung Kecil". Ah, ini hanya spekulasi subjektif saya saja, sih.

Mungkin itu saja yang bisa saya tulis pada tantangan hari ini. Tak terasa, tantangan tersisa 5 hari lagi. Semoga saja, setelah itu saya masih bisa konsisten menulis, ya. Aamiin.

Saturday, October 24, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 24

"Lesson Learned"

Di sepanjang hidup setiap orang, berapapun usianya, pasti banyak melewati kejadian dan pelajaran. Ada yang harus ditinggal orang tua di usia muda, ada yang harus dihadapi dengan orang tua yang menikah lagi, dihadapi dengan kebangkrutan, kehilangan, kelahiran, kebahagiaan, atau apa pun itu namanya. Begitu pun saya. 

Bapak saya pensiun ketika saya masuk SMP di tahun 1999. Adik saya saat itu baru duduk di kelas 6 SD.  Sebenarnya, tidak ada yang berubah dari pensiunnya bapak saya. Dari sebelum bapak pensiun, kami juga sudah hidup sederhana. Tapi, seperti ada tuntutan 'tidak langsung' dari ibu, agar kami selalu juara kelas agar gampang naik ke jenjang sekolah berikutnya--terlebih sekolah negeri. Sebuah peristiwa terjadi saat saya lulus SMP, saya hampir tidak diterima di SMA negeri. Sebenarnya, pilihan itu ada, tapi karena jaraknya yang jauh, ibu langsung menolak mentah-mentah opsi tersebut. Saya ingat sekali Bapak berkata: "mau sekolah di negeri atau swasta, nggak masalah, tapi kamu harus punya tujuan, mbak. Mau kuliah di negeri? Go for it". Singkat cerita, saya bersekolah di SMA swasta. Nilai saya tidak pernah mengecewakan hingga lulus, dan syukurnya benar-benar berkuliah di universitas negeri pada akhirnya. 

Saat saya masih satu rumah dengan orang tua, saya kerap bertengkar dengan adik saya. Ibu selalu berkata: "ribut melulu, sih. Kalau ibu mati kalian masih ribut begini, mau jadi apa?". Terkadang, kami menganggapnya ini hanya salah satu caranya agar kami kembali akur. Tapi, ketika situasi membuat kami harus bersatu dan akur saat ibu sakit, lalu bapak meninggal, dan akhirnya ibu menyusul bapak, Saya bersyukur kami sudah dalam keadaan yang jauh lebih baik. 

Mungkin masih ada sedikit rasa penyesalan saat saya memilih untuk keluar dari sebuah BHMN dan balik menjadi karyawan di sebuah perusahaan swasta. Hal itu mengingat perjuangan untuk mendapatkannya, seperti saat melakukan tes tertulis dan wawancara saat hamil muda. Wah, berat sekali rasanya! Tapi, saya belajar banyak. Kalau ada seseorang atau sebuah lembaga yang hanya melihat kita sebelah mata, terlebih dari prestasi yang sudah kita capai, dan memilih orang yang lebih pandai 'cari perhatian', ya tinggalin aja dan move on cepat-cepat. Cari tempat atau orang yang bisa menghargai kita dengan sepadan. 

Begitu pun saat memilih seseorang untuk berdampingan dengan kita. Saya banyaaak sekali belajar dari orang tersayang. Untuk tidak terlalu ambil pusing dengan perasaan atau hal nggak penting, untuk merasa bodo amat dengan orang yang secara nyata menghabiskan waktu kita, untuk selalu sabar dan tenang saat dihadapi masalah--karena pasti ada banyak opsi untuk menyelesaikannya, untuk selalu menyayangi tanpa letih, dan untuk tetap pantang menyerah untuk selalu belajar. Terima kasih ๐Ÿ’™

#30DaysWritingChallenge | DAY 23

23-10-2020: "A letter to someone"

Hai, Birru.

It's been a while since my last letter for you. Suatu hari nanti, Birru akan baca ini. Mungkin, Birru akan "apa sih Ibuk, norak deh" atau "Ibuk, hapus! malu akuu". Nggak apa-apa, ibuk akan menunggu hari itu tiba, hehe.

Maaf, ya, hari ini ibuk harus dinas. Sudah semingguan ini juga ibuk sedang sibuuuk sekali. Ah, jadi ingat waktu ibuk cuti melahirkan dulu. Ibuk sudah harus kembali ke kantor waktu Mas masih 1,5 bulan. It was hard, Mas. Ingat nggak, Ibuk suka tiba-tiba muncul di rumah pas jam istirahat tiba? Ibuk pingin Mas menyusu langsung dari Ibuk. Padahal, Ibuk sudah bawa gerombolan peralatan pompa ASI yang malah ditinggal di kantor. Sebegitunya Ibuk kangen kamu, Mas. Walau sekarang kamu boro-boro deh senang kalau Ibuk video call dari kantor, pasti kamunya langsung kabur atau minta udahan. Anak Ibuk sudah besar ...

Mas, Ibuk tahu, Mas bakal sebel banget kalau Ibuk suka cium-cium gemas. Pasti kalau sudah kelewat gemas, kamu akan teriak "bisa dikurang-kurangi nggak sih buk gemasnya?", lalu kamu menangis. Ibuk tambah gemaaas! You're gonna always be my baby, Mas. Like, always. Jadi, mohon sabar, ya.

Mas, Ibuk tahu, di beberapa peristiwa yang pernah kita lewati sama-sama, Ibuk suka kurang sabar. Bahkan, Ibuk kerap kali harus belajar dari kamu apa artinya sabar dan memaafkan. Terima kasih, ya, Mas, sudah selalu memaafkan Ibuk yang jauuuuh dari kata sempurna ini.

Mas, senang-senang, ya. Senang sekolah, senang bermain, senang berteman. Ibuk percaya banget, Mas akan punya banyak teman nanti. Berteman itu menyenangkan banget, loh, Mas. Mas juga akan tahu, bahwa banyak orang yang berbeda. Mas akan banyak belajar dengan berteman. 

Mas, Ibuk minta maaf. Mungkin ada beberapa situasi yang menuntut Mas harus paham dan mengerti. Ada beberapa kondisi yang mengharuskan Mas melakukan dan menghadapi sesuatu. Tapi, Ibuk ada, ya, Mas. Ibuk akan temani.

Ibuk akan selalu sayang Birru--sampai kapan pun. 

#30DaysWritingChallenge | DAY 22

22-10-2020: "Talk About Today"

Sebenarnya tidak ada yang terlalu spesial di hari ini. Saya disibukkan dengan beberapa urusan untuk perjalanan dinas esok hari. Tidak cuma disibukkan, sih, tapi cukup direpotkan. Saya menghabiskan waktu hampir setengah hari untuk menyelesaikan segala urusan tersebut hingga tuntas. Alhasil, beberapa pekerjaan cukup terganggu. Saya baru benar-benar bisa konsentrasi mengerjakan pekerjaan di jam-jam setelah makan siang--yang boro-boro juga, makan siang sampai nggak nafsu apalagi tertelan.

Di antara waktu sibuk saya itu, saya ditemani orang tersayang. Jadwal kerja yang bisa dilakukan dari mana saja, memudahkan kami untuk tidak perlu berjauhan saat ada suatu masalah atau kendala terjadi. Dia menemani dan memberi beberapa opsi mengenai masalah yang menyangkut perjalanan dinas itu. Kami pun sempat memiliki quality time bersama sebelum akhirnya sibuk dengan masing-masing pekerjaan. Saya juga sempatkan bermain dan bercengkerama dengan anak-anak, sambil memohon pengertian bahwa ibunya harus bekerja dari jarak jauh esok hari. Syukurlah, semua berjalan dengan baik.

Ada sedikit tragedi dengan perintilan make up saya. Saking jarangnya ke kantor dan dandan, saya lupa menutup kemasan eyeliner dengan tepat. Tertebak lah, eyeliner saya kering ring ring. Padahal, terhitung masih baru, mengingat semenjak pandemi saya benar-benar jarang dandan. Rasanya aneh, sih, hari ini nggak pakai eyeliner. Mata belok saya terlihat sayu. Sampai seorang teman kantor mengira saya sedang sakit karena saking pucatnya. Alhasil, sebelum pulang, belok dulu ke Guardian dekat kantor untuk jajan eyeliner. Ada-ada saja, sih...

Walau begitu, entah kenapa hari ini saya tidak begitu nafsu untuk makan. Sesendok nasi pun tidak tertelan. Dipaksa makan pun, malah jadi mual. Mungkin saja ini gara-gara dinas esok hari, atau tentang suatu kejadian yang sempat bikin 'patah hati'. Semoga saja, bukan pertanda sakit serius atau entah apa. Semoga ...

Wednesday, October 21, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 21

"Write about Love"

Walau nggak ahli di dunia percintaan, saya punya 10 mantan pacar hahaha. Malu-maluin, sih, kebanyakan ceritanya. Tapi, dalam postingan kali ini, saya nggak mau ceritain percintaan saya saat ini, ya.

Kisah cinta pertama saya sudah pernah saya kisahkan di postingan DAY 19. Kisah cinta berikutnya masih di SMP, saat dekat dengan teman les bimbel. Walau nggak lama putus, kami akhirnya satu SMA dan malah berteman baik. Lalu, saya dekat dengan kakak kelas bernama R di SMA. Hubungan saya dengan R dibilang nggak mulus. Sayanya suka banget, dianya biasa aja. Nggak lama jadian, tahunya dia sudah punya dua cewek *tepok jidat*. Walau begitu, saya tetap mau sama dia. Berkali-kali putus nyambung, sih. Dan benar-benar berakhir di tahun ketiga usia hubungan kami.

Di sela-sela putus nyambung yang nggak terhitung itu, saya sempat cari ‘pelarian’. Saya dekat dengan teman seangkatan, bernama RN. RN baik banget. Walau bad boy dan tahu kalau saya nggak bisa move on, dia sayang banget sama saya. Malah saya biasa aja, sih sebenarnya. Namanya juga pelarian. Nggak lama, saya minta putus karena gak tega—dia terlalu baik. Saya lalu dekat dengan seorang kakak kelas bernama A, tapi ini juga nggak berjalan lama karena ternyata saya cuma jadi bahan taruhan. Ujung-ujungnya, ya balik-balik terus sama si R sampai saya lulus SMA di tahun 2005.

Saat awal kuliah, saya sempat dekat lagi dengan RN. Kali ini murni bukan karena pelarian, sih. Saya dekat hingga satu tahun lamanya dan putus karena masing-masing menjauh. Sempat jadian dengan beberapa orang, dari teman kuliahnya teman, temannya mantan, sampai senior Paskibra yang usianya jauh di atas saya. Lagi-lagi, semua berakhir dengan bubar jalan. Mungkin saat itu saya terlalu banyak menuntut. Menuntut diri saya untuk selalu punya pacar dan menuntut waktu si pacar untuk selalu punya waktu untuk saya—yang sebenarnya tidak baik. Ya, apa, sih yang ada di pikiran saya yang waktu itu belum genap berusia 20 tahun.

Setelah kisah cinta dengan si senior berakhir, saya seperti mengambil jalan putar balik. I put myself first. Kelihatannya egois, sih. Tapi, saya merasa kayak udah lama banget nggak menomorsatukan diri saya. Semacam buang-buang waktu dengan cowok-cowok itu, hanya karena tuntutan sosial—di mana semua teman sepermainan saya punya pacar. I finally got what I want. Teman baru, internship di stasiun TV, dan dipercaya memimpin beberapa project di kampus oleh organisasi yang saya ikuti.

Lalu, apa saya menyesal dengan kisah percintaan saya? Ya, nggak juga, sih. Kalau nggak melewati itu semua, mungkin nggak akan sadar-sadar tentang apa sih yang terbaik buat diri saya. Di mata saya sekarang, cinta itu bentuknya universal. Saya cinta sekali dengan Birru, saya cinta dengan orang yang saya kagumi, saya cinta dengan pekerjaan saya, saya cinta dengan beberapa benda yang saya punya, saya cinta dengan pencapaian yang saya raih, dan sebagainya. Cinta bisa diraih, cinta bisa dicari, cinta bisa dirawat, cinta bisa datang kapan saja—di waktu dan tempat yang nggak kita duga, dan cinta bisa juga hilang—been there before. Cinta juga bisa dialami, didalami, dilalui, dan bahkan dilewati.

Itu saja, sih, yang saya mau tulis tentang cinta. Agak menggantung, tapi saya juga nggak mau menulis yang berlebihan tentang ini. Semoga yang baca terhibur, ya. See ya ๐Ÿ˜Š

Tuesday, October 20, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 20

"Celebrity Crush"

Wah, postingan kali ini menyenangkan banget! Tapi, nggak apa-apa ya kalau saya punya beberapa celebrity crush dari dalam maupun luar negeri. So, here they are. 

  1. Rio Dewanto. Waktu saya hamil, dialah yang menjadi 'korban' ngidam saya. Saat itu, kalau tidak salah Rio menjadi brand ambassador Telkomsel. Di sepanjang jalan, pasti ada baliho bermuka dia. Wah, gembira rasanya!
  2. Iqbaal Ramadhan. Ya, gara-gara Dilan lah ini. Gemes banget sama matanya. Bikin saya deg-degan. XD
  3. Hamish Daud. No need to explain lah, ya. Kulit eksotis, muka setengah bule. Udah lah yaa... :D
  4. Ariel Noah. Saya pernah punya mantan pacar yang miriiiip banget sama Ariel saking sukanya sama Ariel, hahaha. Saya suka gemas kalau dia lagi bicara sama anaknya, kebapakan dan sayang banget sih kelihatannya--di luar cap playboy yang nempel di dirinya. Gemas juga waktu ngobrol bareng sama komunitas motornya. Meuni Sunda pisan ~
  5. Justin Timberlake. Sampai sekarang, masih suka sama dia. Saya paling suka versi dia botak dan full-beard. Saya mulai suka JT saat ia mulai solo karier. Dia juga jadi ASI booster saya saat zaman pumping di kantor dulu. Teman-teman di kantor sampai hapal, kalau saya sudah nyetel Justin Timberlake, saya pasti sedang pumping dan nggak bisa diganggu! :p
  6. Mark Ruffalo. Wah ini bakal jadi lifetime crush saya, deh. Mulai suka dia sejak di film 13 Going 30. Versi paling cakep dia di sekuel Avengers tuh di Thor Ragnarok. Ugh, gemas. 
  7. Suga dan Jungkook BTS. Lah, kok? Hahaha! Saya tiba-tiba suka lagu Dynamite - BTS. Tapi, belum suka sama lagu lainnya. Terus, jadi sering nonton BTS nyanyi Dynamite versi live demi lihat mereka nge-dance. Jungkook dan Suga yang paling menarik hati saya. Bikin senang, uuu :p
Mungkin ini postingan terpendek dari yang lain. Sampai ketemu besok, ya!

Monday, October 19, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 19

"First Love"

Okay, postingan ini mungkin sedikit agak cheesy karena balik ke zaman SMP di tahun 1999 (yea, I'm old). Saya bersekolah di sebuah SMP negeri di Depok. Agak jet lag sebenarnya. Sebelumnya, saya menghabiskan waktu 8 tahun bersekolah di wilayah yang itu-itu saja. Untuk mencapai sekolah, saya harus berganti angkutan umum dua kali, lalu jalan kaki sejauh 500 meter hingga depan gerbang sekolah. Kawan-kawan baru saya berasal dari sejumlah area di Depok. Ada yang dari Simpangan, Beji, Sawangan, Depok Lama, sampai area yang saya sama sekali belum pernah dengar. Di kelas 1, saya dekat dengan 4 cewek di kelas. Kami berlima sama-sama mengidolai boyband Westlife. Selama sekelas dalam setahun itu, kami bergantian mengunjungi rumah masing-masing untuk sekadar nonton VCD konser Westlife dan fan-girling.

Suatu hari, kami sedang berkumpul di rumah salah satu teman. Salah satu dari teman saya lalu bercerita, bahwa ada cowok di kelas yang bertanya-tanya tentang saya. Namanya F. Secara fisik, he has beautiful eyes. Rambutnya hitam tebal bergelombang. Saat itu, model rambut spikey sedang musim. Kulitnya kecoklatan dan berbadan tegap. Dengar-dengar, bapaknya seorang polisi. Tak lama dari informasi yang disampaikan teman saya itu, saya mulai sering disapa oleh F. Mulai dari saling lempar senyum, sampai menyapa "hai". Saya yang belum pernah naksir serius sama cowok tentu saja deg-degan. Apalagi matanya, doh! Kalau ingat kala itu, bikin keki. Kami juga jadi sesekali mengobrol via telepon. Sebenarnya aneh, sih, rasanya. Walau mulai sedikit naksir, saya agak terganggu dengan dialeknya yang sungguh Betawi-Depok abis, hahaha. Terlebih kami sekelas, saya agak bagaimana gitu kalau papasan dan nggak sengaja menangkap mata F yang sedang menatap saya. Malu!

Kami menghabiskan beberapa waktu untuk saling dekat. Yah, dekat ala-ala monkey's love gitu, deh. Suatu hari, saat kelas kami sedang mengambil nilai pelajaran olah raga di lapangan dekat sekolah, ia mendekati saya. Ia ingin mengajak bicara. Usut punya usut, F sudah bekerja sama dengan 4 teman saya. Dari jauh, saya melihat 4 teman saya sedang cekikikan sambil berteriak "ciyee ciyee". Sudah bisa ditebak, F menembak saya. Lalu, saya bingung. Gimana sih cara jawab kalau ditembak cowok? Habis itu, harus pegangan tangan, atau gimana sih. Hahaha, asli norak. Long story short, kami jadian.

Namanya juga cinta monyet, kami nggak pernah yang jalan bareng. Seingat saya, F juga nggak pernah main ke rumah. Saya juga melarang dia untuk sering-sering menelepon. Dibilang sayang atau enggak pada saat itu, bisa dibilang saya senang berada di dekatnya. Sedekat-dekatnya kami di kelas, paling hanya duduk berdua saat jam istirahat sambil mengobrol. Atau duduk berdua saat saya menemani dia bermain gitar. Lebih dari itu, pegangan tangan saja dada saya rasanya seperti tremor. Hahaha.

Kami tidak sampai lama berpacaran. Tiba-tiba, kami saling menjauh saja tanpa ada kalimat putus. Mungkin saya membosankan, tapi ya nggak masalah juga. Lucunya, nih, semesta sungguh baik kepada saya. Di kelas 2 hingga kelas 3, kami selalu sekelas *tepok jidat. Kami sempat kembali berjadian lalu kembali putus di masing-masing jenjang kelas. Di kelas 2, saya akhirnya merasakan hal yang bernama cemburu. F suka bergaul dengan cewek-cewek populer. Sementara saya, memang dasar nggak pernah cari panggung, ya boro-boro juga khan populer. Saat dia bergaul dengan cewek yang lebih populer, saya sempat jadian dengan teman les bimbel yg beda sekolah (lantas nggak lama putus krn posesif banget orgnya) dan sempat juga dekat dengan kakak kelas. Di kelas 3, kami tidak lagi sekelas dengan si cewek populer. Kakak kelas yang dekat dengan saya juga sudah lulus. Kami lalu dekat kembali dan sempat berbalikan. Hubungan kami tuh tawar banget. Nggak pernah pelukan, jalan bareng, atau berantem. Ya gitu-gitu aja sampai akhirnya kami lulus SMP dan berbeda sekolah.

Tiga tahun setelah kejadian itu, saat saya duduk di kelas 3 SMA, saya kembali bertemu F. F pindah ke sekolah saya, tapi dia masih duduk di kelas 2. Menurut informasi, dia dikeluarkan dari sekolah sebelumnya karena bermasalah sehingga tidak naik kelas. Walau SMA saya swasta, tapi sekolah saya ini terkenal dengan disiplinnya yang sungguh keras. Saat hari pertama dia bersekolah di SMA saya, saya yang pertama menyapanya. Saat itu, saya sedang berhubungan dengan mantan saya (yang sudah berjalan hampir 2 tahun). Di SMA, saya cukup populer karena ekskul yang saya jalani. Saya punya banyak teman dibanding saat masa SMP. Jadi, saya tak terlalu memikirkan keberadaan F di sekolah. 

Begitulah cerita cinta pertama saya, hehe. Kami sudah tak pernah saling berhubungan lagi walau saat ini tergabung dalam grup alumni SMP yang sama. Sampai jumpai di tantangan #30DWC besok, ya!

Sunday, October 18, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 18

"30 facts about me"

Waduh, banyak, ya. Tapi, bisa juga kurang, sih. Definitely jadi postingan setengah curcol lagi, nih. Okay, lemme start.

  1. Hobi kerja.
  2. Suka motret.
  3. Suka makan makanan enak.
  4. Suka masak.
  5. Hobi traveling.
  6. Anak pantai.
  7. Suka jalan-jalan ke museum.
  8. Gampang mellow.
  9. Easy going.
  10. Suka ketawa ngakak tanpa malu-malu.
  11. Suka banget nyanyi.
  12. Masih bercita-cita jadi jurnalis.
  13. Lebih suka konsep industrialis daripada minimalis.
  14. Suka banget anjing, tapi jiper kalau berhadapan langsung.
  15. Suka banget minum kopi, tapi gampang kena maag.
  16. Penyayang
  17. Galak :p
  18. Gampang senang sama hal-hal yang sederhana.
  19. Suka banget menatap langit dan awan.
  20. Penggemar berat serial Grey's Anatomy.
  21. Mantan pacarnya banyak.
  22. Tiba-tiba suka nonton drakor di usia 33 tahun.
  23. Cinta banget sama Justin Timberlake (booster ASI-kuu)
  24. Suka dipeluk dan dicium (sama orang-orang tertentu aja ya ini :p)
  25. Suka parfum, sampo, atau sabun beraroma kelapa.
  26. Lebih suka nama bernuansa Indonesia atau sansekerta, daripada bernuansa islami.
  27. Pernah merokok zaman kuliah.
  28. Punya nomor HP sudah dipakai sejak tahun 2004.
  29. Suka blak-blakan sama perasaan. Kayak, kalau sedih, ya nangis. Kesal, ya marah. Nggak pakai dipendam.
  30. Suka banget sama warna biru, sampai menginspirasi nama anak sendiri.

Saturday, October 17, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 17

"Ways to win my heart"

Mungkin beberapa dari cara yang saya suka berikut, ya juga diharapkan banyak orang dari orang lain di sekitar mereka. Dan sebagai catatan, mungkin ini cara-cara yang sudah/sedang saya lalui. So, here they are.

Little gesture(s) but not too much. Saya paling suka diperhatikan. Sedikit sebal kalau dicuekin atau baru dicari ketika butuh. Tapi, saya paling nggak suka caper atau ada orang yang caper. Saya terima-terima aja kok kalau tiap hari ditanya via chat "sedang apa", "sudah makan", atau sekadar bilang " i love you". Buat saya, pertanyaan-pertanyaan sederhana macam itu sebagai tanda kalau masing-masing saling ada. And that's enough.

Wangi, rapi, dan mandiri. No need to explain.

Pekerja keras. 

Punya selera humor yang sama. Saya gampang dibuat ketawa sama candaan receh. Paling nggak suka, candaan ala bapak-bapak yang sedikit garing dan (sedikit) porno. 

Ngobrolin hal-hal yang (kebetulan) saya suka. Saya suka jalan-jalan cari jajanan, tempat minum kopi yang enak, jalan-jalan ke museum, traveling, nonton film, dan penikmat musik. Ngobrolin hal-hal itu, minimal nyambung, udah berkesan buat saya. Seperti menghargai lawan bicara tapi bukan sebagai bentuk cari perhatian. 

Jujur. Saya paling suka dengan orang yang jujur--siapa juga yang enggak suka lah ya hahaha. Jujur tentang apa saja. Tentang apa yang dirasa, tentang sikap masing-masing, tentang hal yang disuka atau tidak disuka, apa saja. 

Peka dan perasa. Nah, jarang nih ada laki-laki yang peka dan perasa. Jarang, ya, bukan nggak ada. Hihihi. 

Memuji pada tempat dan waktu yang tepat. Saya tumbuh sebagai anak yang hampir nggak pernah dipuji oleh orang tua (seingat saya, ya). Makanya, dulu terkadang saya (dengan sedih) berusaha keras untuk memenangkan hati keduanya. Suatu ketika, ada orang yang pernah memuji saya dengan tulus, dalam waktu dan porsi yang tepat. Tidak berlebihan, pas sekali. Padahal, dia hanya memuji tentang suatu hal berat yang bisa saya lewati sendiri. Pujiannya juga hanya sekadar "So proud of you". Saya menanggapinya dengan menangis.

Memberi kritikan membangun. Terkadang, saya suka down kalau ada yang memberi kritik. Tiba-tiba, jadi insecure dan nggak percaya diri. Nah, jarang nih ada yang bisa memberi kritikan kepada saya tapi yang nggak bikin insecure. Ada, kok. Dengan catatan, bersedia juga kalau dikritik balik. Hehe.

Mungkin ini postingan paling random dari postingan lain. Tapi, itu saja, sih, yang ada di kepala saya. See ya! 


Friday, October 16, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 16

"Someone I miss"

Postingan ini akan menjadi postingan setengah curcol dan nggak cheesy sama sekali. Kalau ada satu sosok yang saya paling rindukan, adalah sosok saya yang dulu.

I miss the old me, yang punya banyak tenaga dan bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu. Contohnya, di masa-masa saya bekerja, sambil kuliah malam (bahkan sampai Sabtu), dan waktu saya hanya dihabiskan untuk mengerjakan tugas kuliah yang nggak ada selesainya.

I miss the old me, yang bisa percaya diri melamar pekerjaan ke banyak tempat. Dengan begitu, saya dapat 'bonus' berkeliling Jakarta dengan transportasi umum dan bisa menghapalkan banyak jalan yang sebelumnya saya belum tahu. Transportasi favorit saya adalah trans Jakarta, btw. 

I miss the old me, yang nggak gegabah dalam memilih jenjang karier. At some point, saya terkadang suka agak menyesal melepaskan status sebagai calon PNS di sebuah BHMN. Bandel memang si Prita.

I miss the old me, yang bisa memiliki pekerjaan impian sekaligus menjalankan hobi. Saya pernah menjadi reporter sekaligus editor sebuah majalah anak. Saya sering diminta melakukan liputan ke banyak tempat sambil membawa kamera. Kalau saja oplahnya bagus, mungkin majalah yang saya sudah anggap sebagai anak sendiri itu masih ada hingga sekarang.

I miss the old me, yang punya sedikit waktu luang untuk sekedar rutin jogging atau melakukan olah raga favorit lainnya. 

I miss the old me, yang nggak terlalu pusingin mengenai status sebuah hubungan. Yang nggak melulu harus punya pacar. Yang nggak mikir kapan harus menikah. 

I miss the old me, yang senang banget 'hidup' di kampus. Di mana hidup cuma antara rumah dan kampus saja. 

I miss the old me, yang nggak terlalu pusingin penampilan. Rambut klimis belah pinggir dikuncir ekor kuda, pakai converse, dan sling bag saja sudah bikin percaya diri setengah mati.

I miss the old me, yang (terkadang) bisa nggak terlalu pusingin apa kata orang tentang diri saya. 

I miss the old me, yang nggak punya hubungan atau kedekatan khusus dengan lawan jenis. 

I miss the old me, yang nggak putus asa dan punya banyak kekuatan serta sabar dalam menghadapi ujian yang nggakkunjung selesai. Contohnya, wafatnya Bapak dan Ibu yang hanya berbeda satu tahun. 

I miss the old me, yang nggak suka menuntut dan mengikutsertakan perasaan ke beberapa keputusan hidup.  

I miss the old me, yang selalu punya semangat tanpa batas untuk mengerjakan banyak hal.



Hai Prita, lekaslah pulih. 

You are loved.

You are worth.

Thursday, October 15, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 15

"If you could run away, where would you go?"

Pertanyaan di atas sering menghantui saya, terlebih semenjak sudah tidak punya orang tua. Kalau dulu merasa semesta sedang tidak adil, saya bisa langsung pulang ke rumah orang tua dan berkeluh kesah. Kini, setelah kebahagiaan hanya bergantung pada diri sendiri dan tak punya tujuan untuk 'pulang', saya suka berkhayal tentang beberapa hal.

Sejak banyak apartemen berdiri di sekitar saya tinggal dan bekerja, saya sempat terpikir untuk memiliki sebuah apartemen sebagai tempat 'run away'. Minimal, tipe studio aja, nggak usah yang terlalu besar. Saya terinspirasi dari sebuah scene di film Sex and The City 2, di mana Carrie (yang kemudian dia juga memperbolehkan teman satu gengnya) rutin punya quality time sendiri di apartemennya selama beberapa hari dalam seminggu, sementara Big juga mendapat me time-nya sendiri di apartemen mereka.

Jogja! Jogja selalu menjadi pilihan pertama saya ketika ditanya mengenai tempat melepas penat. Seperti di postingan sebelumnya, saya ingin sekali punya sebuah rumah di Kaliurang. Di kaki gunung dan di pinggir sawah. Bayangan ini terinspirasi dari sebuah vila di Bali yang didesain oleh arsitek ternama di Indonesia. Saya akan memboyong orang-orang tersayang, mungkin memiliki hewan peliharaan seperti anjing dan burung, dikelilingi pohon jambu air, pohon pepaya, dan beberapa tanaman sayur siap petik. Lalu, hidup sampai tua di sana. 'Run away' yang terlalu niat dan sempurna, hahaha. 

Pantai. Saya terbayang dengan pantai pada sebuah scene di film AADC 2, saat Cinta and the gank berswafoto di pinggir pantai. Saya mau jogging di bibir pantai, sesekali duduk di atas pasir yang hangat, dan membenamkan kedua kaki dalam-dalam di sana. Perfect. 

Suatu hari, saat pulang kantor bersama pasangan saya, saya mencium aroma pohon dan daun. Mengingatkan saya dengan suasana Bandung di Dago Atas dan juga perkemahan Glamping milik Herman Lantang di kaki Gunung Salak. Saya jadi ingin sekali glamping di tepi Situ Patenggang, Ciwidey, karena terinspirasi dari vlog penyanyi Andien. Seru aja bayangin bangun pagi di tengah kabut dan suasana yang misty. 

Ada satu tempat lagi, sih, di mana akan menjadi salah satu pilihan saya untuk 'kabur' dari segala rutinitas. Tak lain dan tak bukan: SOLO. Solo sudah seperti Indonesia bagi saya--tumpah darahku. Di rumah Nenek saya di Solo, saya selalu merasa seperti seorang cucu yang sedang pulang kampung dan tak sabar bertemu handai taulan. Walau Nenek dan orang tua saya sudah berpulang, saya tetap merasa aman setiap berada di sana. Seperti berada di tempat dan 'tangan' yang tepat.

Itulah beberapa tempat 'kabur' saya. Agak mainstream, sih. Tapi, itu yang sedang berada di benak saya sekarang. Sampai bertemu di tantangan berikutnya, ya!

Wednesday, October 14, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 14

"My Style"

Jujur, untuk menulis postingan kali ini, saya harus bertanya kepada orang terdekat saya dulu hihi. Seperti kebanyakan orang, gaya itu mengikuti mainstream. Musimnya lagi apa, ya saya ikutin. Sewaktu SD, gaya saya selalu dibuat feminin oleh Ibu. Pakai rok atau dress setiap ada acara atau pergi ke luar dan rambut selalu berponi. SELALU. Kalau poni sudah melewati alis, Ibu selalu siap memotong poni saya agar rapi dan nggak masuk-masuk ke mata. Gaya rambut saya selalu pendek. Ibu saya telaten menguncir rambut saya setiap mau ke sekolah. Gaya kuncir ekor kuda, kuncir dua ala kelinci, kuncir air mancur ala Cindy Cenora--pernah saya lakoni. Untuk sepatu, tak jauh-jauh dari sepatu pantofel berwarna hitam. Kata Ibu, biar hemat, bisa dipakai ke sekolah dan ke undangan. Pernah juga, sih, punya boots DocMart dan sneakers proATT yang ada lampunya. Ingat banget, keduanya dulu dibeli di sebuah toko sepatu di Mall Kalibata. Mengingat, dulu Depok semacam dusun, nggak ada satupun mall.

Saat SMP, saya mulai boleh memilih gaya rambut sendiri. Sebenarnya, nggak jauh-jauh dari bob, sih. Tapi, saya udah nggak mau pakai poni lagi. Sempat juga rambut saya panjang sepunggung. Di SMP, saya mulai 'agak' bandel. Saya berteman dengan seorang perempuan bernama J. Alisnya J bagus sekali, katanya dicukur. Karena saya cuma tahu cukuran untuk ketek, saya nggak ngerti cara mencukur alis. Nggak habis akal, saya iseng mencabuti rambut alis saya dengan pinset. Nah, sejak saat itu, alis saya mulai berbentuk, deh, hehehe. Sejak SMP juga saya mulai mengerti soal penampilan wajah. Mulai-mulai pakai bedak tipis, body lotion, dan lip gloss. Mulai juga disuruh pakai deodoran dan cologne oleh Ibu. Tas dan sepatu saya masih bernuansa sama, nggak jauh-jauh dari backpack dan pantofel warna hitam.

Saat bersekolah di SMA swasta, kebebasan saya dalam berpenampilan sedikit lebih bebas. Saya suka banget pakai sepatu sneakers model slip on. Merk sepatu favorit saya saat itu Tomkins. Tapi sebal. Karena ikut ekskul paskibra yang selalu bertumpu pada tumit saat melakukan gerakan dinamis dan juga statis, sepatu saya cepat rusak di bagian tumit. Akhirnya, mulai mengoleksi beberapa sepatu sneakers dan flat beraneka warna untuk cadangan. Di SMA, saya juga pernah bergaya rambut ekstrem. Saya pernah berambut cepak, sampai harus memakai gel rambut yang hard agar tampak bervolume. Rambut saya juga pernah dicukur pada bagian tengkuk saat hendak mengikuti lomba paskibra. Kata senior saya, biar terlihat bergoyang-goyang rapi saat melakukan gerakan baris berbaris. Saya juga mulai berani memakai rok di atas lutut, supaya.... ya terlihat keren, aja, sih, hahaha.

Saat berkuliah, saya mulai sering pakai celana jeans. Jarang sekali memakai rok. Rambut saya kembali bergaya poni dan bob. Beberapa kali sempat berambut panjang karena ingin merasakan rasanya dicepol. Sungguh remeh. Di awal kuliah, saya hobi banget ke distro untuk membeli polo shirt. Baju saya dominan warna biru, karena saya memang suka biru. Tapi, ada juga warna lain seperti shocking pink, hitam, dan warna-warna pastel. Saya suka pakai converse, tapi juga nggak jarang pakai sandal jepit merk Ando warna putih. Kalau lagi pakai sandal jepit, saya suka waswas ketemu Bapak. Pertama, karena Bapak mengajar di kampus yang sama dengan saya walau berbeda jurusan. Kedua, Bapak suka bilang kalau beliau hampir selalu mengusir mahasiswanya yang memakai sandal jepit ke kampus, namun nggak mengira anaknya sendiri malah hobi bersandal jepit ke kampus dan susah dibilangin. Hahaha, ampun Bapak! Saya paling suka memakai sling bag ke kampus. Namun, beberapa kali juga suka pakai tote bag.

Mulai bekerja, saya nggak terlalu musingin soal gaya baju apa yang saya pakai. Mostly, baju saya kebanyakan kemeja dan celana panjang bahan. Ada yang bermotif bunga-bunga, batik, polos, garis-garis, dsb. Rambut saya hampir nggak pernah pendek. Saya lebih percaya diri punya rambut sebahu. Saya mulai suka bersolek; memakai alas bedak, bedak, menggambar alis, memakai eyeliner, maskara, lipstik, dan blush. Saat harus jalan-jalan atau belanja ke supermarket, saya suka memakai kaos dan celana pendek. Pernah di kantor lama saya pernah rutin menjadi MC. Mau nggak mau saya harus punya stok baju beraneka warna. Mostly, warna-warna polos, cardigan, atau blouse, supaya bisa dipadu padankan dengan inner atau outer lainnya. Untuk sepatu, saya lebih memilih flatshoes. Favorit saya waktu itu adalah merk The Little Things She Needs. Untuk tas, saya suka pakai tas-tas cantik bermodel sling bag atau tote bag. Mulai suka mengoleksi jam-jam juga. Merk jam kesukaan saya selalu Casio dan Baby G, hingga sekarang. Hihi.

Lima tahun terakhir saya berjilbab. Awal-awal berjilbab, lemari saya penuh dengan jilbab polos warna-warni. Saya hampir tidak berbelanja baju panjang, karena saya mempunyai banyak outer. Tapi, lama-lama kok gerah dan bosan juga ya pakai baju model inner + outer. Akhirnya, sedikit-sedikit mulai mengoleksi baju dan kaos berlengan panjang. Sekarang-sekarang, sih, baju dan jilbab saya nggak jauh-jauh dari warna hitam, biru tua, merah (karena Birru suka merah dan suka lihat Ibunya berbaju merah), abu-abu, dan motif garis-garis. Saya suka banget-banget baju bermotif garis, sampai punya sekitar 10 buah. Saya selalu PD kalau memakai outfit monokrom atau garis-garis + jilbab hitam. Kalau kata orang terdekat saya, gaya saya sporty tapi sesekali feminin--kalau lagi ingin pakai hijab style model syari (hihihi). Dan hampir setiap hari saya memakai sneakers ke kantor. Merk sneakers favorit saya Piero dan Reebok Classic. Untuk tas, saya lagi kembali suka memakai backpack karena muat banyak barang. Kalau untuk make up look, saya lagi balik ke nude mood. Sempat di awal-awal berjilbab, saya suka pakai make up yang bold dan lipstik bernuansa gelap. Tapi, sekarang lagi insyaf, jadi nude-look dulu, ehehe.

Duh, maaf, ya, kalau postingan kali ini agak berantakan dan nggak runtut. Tapi, semoga bisa sambil ketawa-ketawa atau minimal senyum lah pas baca. Sampai ketemu besok, ya!

Tuesday, October 13, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 13

"Favorite Books"

Postingan tentang film dan buku dalam #30DWC ini, mungkin akan jadi postingan paling subjektif. Tapi, nggak apa-apa, ya. Namanya juga sharing, hihi.

Jadi, sebenarnya saya hanya suka baca novel. Baca buku lain juga, sih. Kayak buku-buku jurnalistik pas zaman kuliah. Tapi, itu khan karena kewajiban saja, hehe. Novel pertama saya adalah Cintapuccino karya Icha Rahmanti. Saya punya novel ini di tahun 2005. Novel ini hadiah ultah dari mantan pacar (ehem). Saya suka dengan tutur bahasa Icha dalam novel perdananya itu. Jadi, sebel tapi sayang sama Nimo, tokoh yang jadi obsesi si tokoh utama dalam novel ini. Sejak membaca novel ini, saya mulai tergila-gila dengan novel chick-lit karya penulis lainnya. 

Tahun 2006, saya mulai suka dengan novel-novel karya Ika Natassa. Saya beli novelnya yang berjudul A Very Yuppy Wedding (AVYW). Lagi-lagi, saya nggak salah pilih. Saya suka gaya bahasa Mbak Ika (sok kenal, err tapi 'agak kenal', sih. I tellya later) yang kalau zaman sekarang dibilangnya 'anak Jaksel' banget. To be honest, saya banyak belajar bahasa Inggris dari novel-novel dia. Jadi tahu juga tentang makanan dan tempat makan enak di Jakarta. Sejak AVYW, saya mulai menyukai novel-novel Mbak Ika hingga sekarang. Khususnya, yang berjudul Divortiare dan The Architecture Of Love. Saking sukanya sama novel-novel yang Mbak Ika tulis, saya pernah tergabung dalam proyek salah satu novelnya yang berjudul Twivortiare, di mana tahun lalu kisah dalam novel tersebut sudah diangkat menjadi film.

Saya juga menyukai novel-novel karya Fanny Hartanti. Novel pertamanya yang saya beli dan langsung suka adalah C'est La Vie. Ceritanya tentang kisah tiga wanita Indonesia yang tinggal dan mempunyai pasangan asli Belanda. Gaya bahasanya yang santai dan lugas, bikin saya jatuh cinta berkali-kali tiap membaca ulang novelnya itu. 

Selain ketiga penulis novel di atas, saya juga menyukai novel-novel karya Valiant Budi, Clara Ng, Dewie Sekar, Sitta Karina, Windry Ramadhina, dan lainnya. Ada satu novel, sih, yang terkenang sampai sekarang, tapi sedih banget novel itu entah ada di mana sejak saya pindah. Novel itu berjudul Menguak Duniaku, karya duet antara R. Prie Prawirakusumah dan Ramadhan KH. Novel itu saya beli saat ada bazar buku di selasar kampus, sekitar tahun 2007. Ceritanya bertema LGBT, tapi ditulis dengan gaya bahasa yang memikat sehingga saya bisa terus-terusan ingin membacanya. Manis sekali jalan ceritanya. Huhuhu, semoga bisa ketemu lagi, deh, dengan novel itu. 

Berhubungan dengan profesi saya saat ini, 10 tahun terakhir tuh saya agak tergila-gila gimanaaa gitu kalau lihat buku anak. Ada satu buku anak karya Clara Ng yang saya sukaaaaaa banget. Judulnya Dongeng 7 Menit. Saya beli ini saat saya hamil Birru. Cerita, bahasa, dan juga ilustrasinya menariiik banget. Banyak kisah yang merupakan spin off dari legenda yang sudah ada. Contohnya, banyak fabel yang menceritakan bahwa kancil anak nakal. Di buku ini, kancil digambarkan sebagai sosok yang pintar dan rajin. Atau, kisah tentang hiu yang suka senyum. Logikanya, mana ada hiu yang suka senyum atau ramah, bukan. Tapi, Clara Ng menulis kisahnya dengan apik sekali agar di bayangan anak-anak kisah hewan-hewan tersebut tidak selalu dianggap miring atau negatif. 

Itulah buku-buku dan penulis favorit saya. Saya memang lebih suka novel atau buku karya penulis lokal daripada terjemahan atau yang berbahasa asing. Semoga menginspirasi, ya. Sampai jumpa di tantangan berikutnya, ya! :)

Monday, October 12, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 12

"Favorite TV Series"

Mungkin postingan ini akan menjadi postingan favorit saya, hehe. Setahun terakhir, saya lagi tergila-gila nonton series. Diawali dari pikiran 'kok bosen ya nonton film hasil download-an'. Lalu, saya mulai mencari-cari, series apa ya yang cocok buat saya. Sehubung dua tahun terakhir (terhitung dari 2019) rumah sakit seperti menjadi rumah kedua saya, kayaknya lucu juga nih nonton Grey's Anatomy (GA). Di tahun 2019, GA sudah memasuki season ke-15. Satu season-nya kurang lebih ada 24 episode. Wah, bisa nggak, ya, cath up-nya? Akhirnya, dapat link buat streaming dari teman, dan saya memulai nonton GA dari season 1. Terus bagaimana perasaannya setelah mengikuti dari season awal? Wah, nggak bisa berhentiii... tancap teruuuss, nagih terus, hahahaha. Saya literally menghabiskan 15 season GA selama hampir 3 bulan. Freak banget, ya ๐Ÿ˜†๐Ÿ˜†

Sebenarnya, di rumah saya ada TV kabel. Tapi, malah buat nonton film, bukan series. Setelah nonton GA, saya mulai mengikuti beberapa series ber-genre sama di TV kabel. Saya mengikuti The Resident. Cinta banget saa kisah percintaan Nic Nevin sama Conrad Hawkins, huhu gemas. Saya juga pernah mengikuti The Good Doctor versi US, tapi hanya 1 season saja. Saya juga sempat mengikuti Chicago Fire sampai season 7. Wah, seru banget, deh serial ini. Bingung antara mau nge-fans sama Kelly atau Casey. Sempat juga mengikuti serial spin off-nya, yaitu Chicago Med. Suka juga, sih, tapi nggak sesuka sama Chicago Fire. 

Mulai tahun ini, saya kayak kena tulah. Saya mulai mengikuti Korean Drama Series, hahaha. Gara-gara stres sendiri nunggu GA season 16 belum masuk di Netflix, akhirnya saya nunggu sambil nonton Hospital Playlist. Lah, kok, dalam berapa hari udah selesai 1 season. Saya mulai mengikuti K-Drama series bertema sama lainnya, kayak Dr. Romantic, Hospital Ship, Good Doctor, dan beberapa judul lain. 

Semenjak ada Netflix, saya makin sering mengikuti beberapa serial. Saya suka Sex Education, I am Not Okay With This, The Bodyguard. Sekarang, saya lagi mengikuti serial Korea on going Do Do Sol Sol La La Sol. Pingin coba nonton serial mainstream kayak Friends atau How I Met Your Mother, tapi kok gak sreg. Hihi...

Itu serial-serial TV yang saya suka. Kalau kalian suka serial apa?

Sunday, October 11, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 11

"Sibling"
Saya adalah anak sulung dari dua bersaudara. Bapak dan Ibu baru memiliki anak setelah 7 tahun menikah. Adik saya laki-laki. Saya dan adik saya hanya berbeda 16 bulan. Saat kecil, kami cukup dekat. Kami suka bermain bersama. Kami belajar main sepeda bersama, belajar mengaji, dan juga roleplay bertema film kesukaan kami saat itu.
Seperti kebiasaan antarsaudara di keluarga lain, kami pun sering berantem. Saat kecil, sih, berantemnya lebih ke mencari perhatian orang tua. Adik saya dekat sekali dengan Ibu, sementara saya anak Bapak banget. Biasanya, saya suka cari gara-gara dengan mengisengi adik saya, biar mendapat perhatian dari Ibu. Dapat perhatian, sih, buat diomelin karena kelewatan isengnya, hehe.
Walau hanya berdua saja, saat besar kami malah nggak cukup dekat. Meskipun begitu, saya beberapa kali rela melakukan sesuatu untuk membela adik saya. Saat adik saya diisengi temannya saat SD, saya bisa aja membentak temannya itu dan bilang kalau bapak kamis seorang polisi. Pernah juga saat adik saya jatuh dan pelipisnya bocor, saya rela dimarahi Ibu sampai dipukuli, padahal itu murni kesalahan adik saya. Ada juga sih hal yang pernah dilakukan (untuk kepentingan) berdua. Seperti saat adik saya baru bisa bawa motor, saya disuruh Ibu membonceng untuk mengontrol adik saya agar tidak ngebut. Saya ya menurut saja. Atau, pada saat saya baru kerja magang dan dapat uang bulanan, saya rela membayar biaya internet setiap bulannya agar kami tak boros ke warnet.
Saat Ibu divonis kanker di awal 2017, kami mau nggak mau harus berusaha 'mendekat'. Bumbu-bumbu berantem, pasti ada. Kami saling lempar kesalahan, adu argumen, hitung-hitungan, itu kerap terjadi. Namanya juga manusia. Maunya senang terus, tapi saat tertimpa cobaan pasti bingung. Selain membesarkan hati Ibu, kami berdua juga harus berusaha tetap ada untuk Bapak. Bapak yang sudah lanjut usia pasti juga butuh perhatian di saat perhatian kami semuanya tercurah untuk Ibu. Begitu pun saat Bapak wafat, perhatian kami berdua jadi satu untuk Ibu. Di masa-masa terakhir Ibu, saya berusaha mendekatkan adik saya dengan Ibu. Secara fisik, dia lebih lempeng sih. Mungkin karena laki-laki, lebih pandai menyimpan peka dan rasa. 
Sekarang, kami tinggal berdua saja. Kami sudah memiliki hidup masing-masing. Dibilang dekat, juga masih belum. Tapi, paling tidak masih ada pembicaraan, baik tentang anak kami masing-masing atau seputar urusan peninggalan orang tua. Saya hanya berharap, semoga  masih bisa sempat meneruskan keinginan ibu saya untuk saling sayang dan rukun dengan saudara. Dan saya selalu berdoa yang terbaik untuk hidupnya. . 

Saturday, October 10, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 10

"Best Friend"

Saya senang banget bergaul dan berteman. Saya senang berkenalan dengan banyak orang. Senang punya teman baru. Senang juga mengobrol. Walau begitu, saya punya beberapa pengalaman kurang mengenakkan di masa SD dan SMP.

Saat itu, saya susah banget rasanya punya teman. Kenal, sih, sama si A, B, C. Tapi, terkadang saya cuma jadi anak bawang. Saya nggak pernah jadi seorang yang populer di sekolah. Saya nggak pernah suka cari panggung--dan ini kebawa sampai sekarang. Teman-teman saya di SD mau berteman dengan saya hanya karena saya rajin mengerjakan PR. Setelah PR dicontek, ya sudah. Sampai ada satu orang anak perempuan pindahan dari Jambi pindah ke sekolah kami, saat saya duduk di kelas 4 SD. Namanya W. Sejak hari pertama saya berkenalan dengannya, kami tak pernah terpisah. Hingga kini, sudah 23 tahun kami bersahabat dan masih saling kontak.

Begitu pun saat SMP. Saya kira saya punya teman, tapi ternyata mereka hanya terpaksa. Kok tahu? Ya, pada akhirnya, saya asyik dengan rutinitas saya sendiri. Datang, belajar, pulang. Kalau ada teman pulang bareng, ya sebatas kenal dan pulang bareng karena satu rute. Nggak pernah punya sahabat yang bisa dicurhatin ini-itu. Saya cuma pikir kalau lebih baik nggak asyik daripada harus mengikuti kebiasaan teman demi eksistensi. Hingga kelas 3 SMP, saya les di Primag*ma dan berkenalan dengan seorang cowok. Namanya P. Dia berbeda sekolah dengan saya. Orangnya ramah sekali dan kami langsung nyambung ngobrolnya. Tapi, kami bisa dekat sampai akhirnya  satu SMA.

Di SMA, selain P, saya punya sahabat yang lain lagi. Namanya T. I love her dearly. Walau sering berantem, baikan, tapi kami saling sayang. Kami curhat segala hal sampai tentang ciuman pertama kami di sekolah, haha. Rasanya kangen dan konyol ingat masa-masa itu, Di SMA, saya juga bertemu dengan teman saya semasa TK dan SD. Namanya A. Rumah kami berdekatan, terhitung tetangga malah. Di kelas 3, kami sekelas. Lucunya, pas SMA ini kami malah bersahabat dekat hingga kini. 

Saat kuliah, saya lumayan punya banyak teman. Ada yang masih keep in touch hingga sekarang, tapi ada juga yang end up-nya nggak enak. Ada yang jadi kakak ketemu gede, ada juga yang tiba-tiba ngajak jadian. Ada-ada aja, emang.

Saat memasuki dunia kerja di tahun 2009, saya dikelilingi banyak orang-orang baik. Paling enggak, dari masing-masing bekas kantor, saya masih punya beberapa teman baik. Bahkan, sampai ada yang tergabung dalam 1 WA Group. Di kantor yang sekarang, mungkin ada dua orang yang saya percaya menjadi orang terdekat saya. Masing-masing istimewa. Mereka seperti "dial number 1" setiap saya ingin bercerita. Mereka literally kayak pengganti orang tua saya, yang dulu mungkin bisa setiap waktu saya hubungi untuk saling mendengar cerita. I love them with all my heart dan mendoakan yang terbaik untuk mereka. 

Menurut saya, sahabat bukan sekedar ada ataupun tiada. Seperti kata Grey ke Yang (baca: serial Grey's Anatomy), sahabat bagi saya merupakan my person. Sahabat itu seperti anggota keluarga yang nggak pernah kita punya--bahkan, rasanya bisa lebih dari itu. Sahabat bisa menjadi orang yang lebih setia--saling setia mendengar, saling setia untuk ada, dan saling setia di kala suka dan duka. 

Itu saja, sih, makna sahabat buat saya. Agak setengah curhat, ya. Mohon dimaafkan. Sampai jumpa di #30DWC esok, ya :)

Friday, October 9, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 9

 "Write about Happiness"

Saya adalah orang yang percaya kalau kebahagiaan itu harus dimulai dari sendiri. Tapi, sadar nggak, bahwa kita lebih sering berlomba-lomba membahagiakan orang lain dengan tujuan orang lain itu akan membahagiakan kita balik? Namanya juga manusia, suka khilaf. 

Semakin kita dewasa, standar dan makna kebahagiaan kita ikut berkembang. Waktu SD, dibolehin Ibu naik sepeda ke rumah teman yang harus menyebrang jalan besar saja, saya sudah girang bukan kepalang. Pas SMP, saya diizinkan menempel poster boyband kesayangan di seluruh tembok kamar, rasanya bahagia banget. Pas SMA, kakak kelas yang saya suka membalas cinta saya saja rasanya seperti mengelilingi dunia. Begitu pun seterusnya. Kebahagiaan nggak cuma berkembang, tapi berubah. Menjadi seorang Ibu, contohnya, menjadi salah satu kebahagiaan terbesar saya selama hidup di dunia. 

Saya lupa siapa orangnya, tapi seseorang pernah menegur saya: "Bikin senang orang mulu, lo, Prit. Lo kapan senangnya? Kayaknya sedih melulu". Saat itu, saya berpikiran bahwa sumber kebahagiaan saya adalah dengan cara menyenangkan orang lain. Tapi, benar juga kata orang itu, saya kok malah hampa, ya. Nggak selalu, sih. Seperti saat saya merelakan pekerjaan dan waktu saya bersama anak untuk mengurus Bapak dan Ibu di penghujung usia mereka. Saat dijalani, rasanya beraaaat sekali. Ya rindu anak, rindu kasur, rindu bekerja di kantor, terlebih rindu jadi diri sendiri. Dari segala hal yang sudah direlakan, tentunya saya berekspektasi bahwa Bapak dan Ibu bisa sembuh--paling tidak pulang ke rumah. Pulang ke rumah, sih, tapi untuk disemayamkan. Lalu, saya kembali bertanya pada diri sendiri, kebahagian yang seperti apa lagi, sih, prit, yang kamu mau cari?

Kalau saya ditanya orang lain berdasarkan cerita di atas, jujur saya akan menjawab: ya, saya bahagia. Paling tidak, Bapak dan Ibu tahu, di masa-masa akhir usia mereka ada anak-anak yang menemani dan terus menyayangi mereka. Karena itu, saya bahagia karena memiliki kesempatan untuk mengurus mereka. 

Walau begitu, saya percaya banget kok, kalau cuma diri sendiri yang bisa bikin kita bahagia. Nonton konser sendirian, saya bahagia. Nonton bioskop sendirian, senang banget. Grocery shopping sambil lihat bungkus kemasan warna-warni, bahagia. Minum kopi yang enak, pasti lah bahagia. Makan makanan enak, ngobrol dan tertawa bersama orang yang disayang + menyayangi kita, bekerja di kantor, dst, bikin saya bahagia. 

Bahagia bisa dicari. Bahagia juga bisa diciptakan sendiri. Bahagia bisa muncul karena merasa dicintai.  Just go for it. Just do what makes you happy. Klise, sih. Tapi, jangan tunggu atau mengharap orang lain yang akan membahagiakan kita. Put your happines first. Bonusnya, percaya deh, kita jadi orang yang bisa menyenangkan orang lain. ๐Ÿ’™๐Ÿ˜Š

Thursday, October 8, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 8

 "The Power of Music"

Sejak kecil, saya sudah mengenal musik melalui lagu-lagu. Bapak saya penyuka segala jenis lagu nasional, lagu anak, dan juga lagu daerah. Hampir tiap hari semasa kecil, saya juga sering mendengarkan Ibu mendendangakan lagu-lagu milik Hetty Koes Endang. Bapak saya sendiri suka menyetel musik gamelan Jawa hingga di masa tuanya. Saya, Ibu, dan adik menyebutnya 'klonengan'--itu jokes dari kami, sih. Kalau sudah menyetel musik gamelan dari kaset dan tape jadulnya, Bapak seperti di awang-awang.

Bapak adalah orang yang pertama kali mengenalkan saya dengan kaset dan alat pemutarnya. Bapak juga mengajarkan bagaimana merawat radio tape agar bersih dan tidak rusak. Saat duduk di bangku kelas 5 atau 6 SD, saya mulai mengenal MTV. Saya bisa duduk anteng menonton MTV Most Wanted dan MTV Ampuh. Ada cerita lucu, sih. Keluarga kami nggak punya pemutar CD atau VCD. Pada saat itu, saya ingin sekali mendengar lagu yang diputar di MTV Most Wanted kapan saja. Bapak saya nggak habis pikir. Ia meminjamkan saya tape recorder tuanya dan sebuah kaset kosong. Ia menyuruh saya untuk merekam lagu apa saja yang saya suka saat diputar di MTV Most Wanted. Ada-ada saja, sih, ide Bapak. Gangguannya cuma satu, sih. Kalau tiba-tiba saya dan adik saya rebutan remote TV atau Ibu saya nggak sengaja berteriak walau saya sudah beri aba-aba untuk diam sebentar, hihi.

Awal SMP, saya mulai suka boyband. Saya jatuh cinta dengan Backstreet Boys melalui album "Millennium". Saya juga mengidolai berat Westlife. Sepanjang 3 tahun duduk di bangku SMP, saya nggak bosan-bosannya main ke Disc Tarra untuk membeli album Westlife atau sekadar cuci mata melihat sampul-sampul kaset warna-warni. Ah, I miss Disc Tarra so-so much. Di masa ini, saya juga pernah jatuh cinta dengan kakak kelas yang pandai sekali bermain gitar. Kami dekat walau tidak sempat jadian. Saya ingat sekali cara dia PDKT. Dia menelepon saya sambil memainkan melodi lagu "Mahadewi" milik Padi. Sejak saat itu, nilai plus laki-laki di mata saya adalah yang pandai memainkan instrumen musik. Instrumen apa saja. Apalagi yang bisa bikin lagu, nilainya jadi + + + ๐Ÿ’™

Saat SMA, kesukaan saya terhadap musik mulai beragam. Saya bisa menikmati musik-musik saat itu, tapi juga menikmati musik-musik di acara "Tembang Kenangan" bersama Bapak saya. Kebetulan, saya juga menjadi vokalis dan band lucu-lucuan di kelas saya. Biasanya, saya membawakan lagu-lagu milik Ten 2 Five atau Maroon 5. Tahun 2005, selera musik saya sedikit berkembang. Saya mulai suka dengan Maliq 'n D'essentials. Saya suka dengan jenis musik yang mereka mainkan. Menurut saya, album perdana mereka masih yang terbaik, menurut saya. 

Masa-masa awal kuliah, beberapa kali saya manggung dengan sejumlah band. Saya menyanyikan lagu-lagu Top 40. Saya pernah bernyanyi di mal-mal, club, sampai di acara pernikahan sekalipun. Setelah berhenti dari kegiatan bernyanyi dengan band, saya lebih menyebut diri saya sebagai penikmat musik. Saat itu, MP3 player sedang marak-maraknya. Saya banyak mendapat rekomendasi lagu-lagu dari teman kuliah. Ada lagu-lagu buat suasana patah hati, buat bikin semangat, buat didengar di kala mengerjakan tugas dengan sistem kebut semalam, dan lainnya. Karena di masa kuliah saya bolak balik patah hati, saya jadi lebih mellow saat dengar lagu-lagu sedih. Hihi

Balik lagi ke tulisan awal, sekarang saya bisa menikmati lagu ber-genre apa saja. Tapi, saya jauh lebih menikmati lagu ber-genre jazz, alternative jazz, dan lagu ala-ala bossanova. Saya yang sekarang juga lebih mudah menerima dan tertular musik apa saja. Bisa saja hari ini seharian dengarin lagu-lagu Post Malone, besoknya dengarin The Panturas, lusanya bolak-balik menyetel BTS, besoknya lagi menikmati lagu-lagu Postmodern Jukebox sampai eargasm. Itu sangat-sangat mungkin terjadi, haha. Bagi saya yang berjiwa mellow ini, lagu juga membingkai sejumlah memori. Memori kehilangan orang terkasih, memori jatuh cinta, dan juga memori yang mau disimpan dalam-dalam di hati. 

Sekian tulisan untuk tantangan hari ini. Agak ngalor-ngidul, ya? Hahaha... Tapi semoga terhibur yaa. Adiรณs!

Wednesday, October 7, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 7

 "Favorite Movies"

Tantangan tulisan ini hampir seberat tema orang tua, karena saya punya banyak banget film favorit. Bisa-bisa berseri deh tulisan ini kalau saya sebut semua film yang saya suka. 

Sebelum pandemi melanda dunia, saya adalah manusia yang paling hobi nonton bioskop. Paling tidak satu minggu sekali saya punya jatah untuk pergi nonton bioskop sendirian. So, these are my favorite movies. (Saya nggak akan ceritain sinopsisnya, tapi mungkin akan cerita sedikit alasan kenapa saya suka film ini, ya.)

  1. "Begin Again". Film ini diperankan oleh Keira Knightley, Adam Levine, dan Mark Ruffalo. Kalau ada yang lupa film ini, ingat dong lagu Adam Levine yang "Lost Stars'"? Nah, lagu itu soundtrack dari film ini. Sejak nonton "Begin Again", saya jadi mengidolai Keira Knightley. Saya tergoda dengan aksen British Keira. Saya suka banget film ini, karena selain ada aktor favorit sepanjang masa saya Mark Ruffalo, juga karena soundtrack-soundtracknya. Saya bisa berulang kali nonton film ini dan nggak akan bosan, hihi.
  2. "Spotlight". Salah satu pemeran utamanya lagi-lagi adalah Mark Ruffalo. Film ini memenangkan kategori Best Pictures di Oscars 2016. Saya suka dengan film yang berdasarkan kisah nyata. "Spotlight", salah satunya. Saya suka film ini karena menceritakan tentang kehidupan jurnalis media cetak yang sedang mengungkap sebuah kasus. Film ini menjadi salah satu alasan saya masih bermimpi untuk menjadi jurnalis hingga saat ini. 
  3. "La La Land". Ryan Gosling juga salah satu aktor favorit saya. Sebenarnya, waktu nonton film ini pertama kali, saya nggak berekspektasi apa-apa. Memang karena pada dasarnya suka banget film yang bertema musikal, saya jatuh cinta dengan film ini. Soundtrack dari film ini juga enak banget buat didengar. Favorit banget, deh. 
  4. "Love, Rosie". Selain film yang punya soundtrack bagus dan berdasarkan kisah nyata, saya juga suka kok sama film-film romcom. Salah satunya film ini. Saya jadi naksir berat sama Sam Claflin semenjak nonton film ini. Kalau hati lagi gundah dan agak patah hati, nonton film ini somehow bikin bahagia karena tatapan seksi Sam Claflin ๐Ÿ’™
  5. "13 Going 30". Film ini lagi-lagi menjadi favorit karena ada Mark Ruffalo. Sayang banget sama Mark Ruffalo di sini. Selain masih kinyis-kinyis, gesture dia saat meranin peran Matt love banget. Huhu, gemas!
  6. "Julie & Julia". Pemeran utama film ini Merryl Streep dan Amy Adams. Saya suka banget sama setting film dan jalan ceritanya. Otomatis jadi pingin masak atau minimal lapar, lah, kalau habis nonton ini, hihi.
Selain film-film di atas, saya juga penggemar berat film sci-fi, kayak "Interstellar" dan "Inception", dan juga mystery-thriller semacam film "Angels and Demons". Saya juga punya beberapa film India favorit, mostly yang diperankan oleh Aamir Khan, seperti "3 Idiots", "Taare Zamen Par", dan "PK". 

Saya juga suka kok nonton film Indonesia, walau nggak terpaku sama satu genre. Saya suka AADC, Tanda Tanya, 3 Hari Untuk Selamanya, Selamat Pagi Malam, Arisan 1 & 2, Ave Maryam, dan Posesif.

Benar, khan, banyak? Makanya, kalau diceritain satu-satu alasannya, tulisan ini bisa sampai beberapa episode, deh. Dari film di atas, ada juga yang kalian suka, nggak? Ceritain, dong, kenapa bisa suka film itu juga?

Tantangan hari ini selesai, semoga terhibur, ya, baca list film yang saya suka, hehe. See ya! ๐Ÿ’™

Tuesday, October 6, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 6

"Single and Happy"

Kalau diingat-ingat, udah lupa rasanya menjadi single. Tapi, saya masih punya memori tentang masa itu. Sekitar awal hingga pertengahan 2007 adalah masa single terlama saya. Sebelumnya, aneh rasanya jomblo. Harus dan menggebu banget untuk punya pacar. Mulai dari yang anak band, anak SMA, kakak kelas SMA, teman kampusnya teman SMA, adiknya kenalan, sampai temannya mantan. Mungkin karena terbawa lingkungan alias teman-teman di kampus yang masing-masing punya pasangan, saya jadi nggak mau kalah. Sayangnya, sampai awal 2007 saya nggak pernah punya pacar yang serius. Sedikit-dikit putus atau berantem. Hingga sampai pada titik: "Okay, I'm done."

Samar-samar saya ingat kalau masa-masa itu paling aneh. Mau main ke kosan temen, eh dianya lagi pacaran. Mau ngajak teman cowok makan di kantin, eh keingat kalau kami sempat jadian dan hubungan pertemanan kami jadi nggak asyik lagi. Saya kemudian menenggelamkan diri dengan tugas kuliah. Saya lebih sering mengunjungi warnet seusai jam kuliah, untuk mencari materi tugas dan juga Facebook-an. Saya jadi lebih fokus ke tugas-tugas kuliah, sampai terkadang tugas yang harus dikerjakan secara kelompok saya selesaikan sendiri. Mungkin kelihatannya seperti jadi kurang pergaulan, ya? Tapi, saat itu saya berpikir kalau kapan lagi bisa fokus dengan kuliah seperti ini. 

Menjelang pertengahan tahun, saya harus menjalani program internship. Karena 'kurang pergaulan', saya jadi bingung mau ambil internship di mana. Sampai pada akhirnya dapat kesempatan menjadi Production Assistant (PA) di salah satu stasiun televisi swasta ternama di bilangan Tendean, Jakarta Selatan. Waktu itu, ada sekitar belasan orang yang juga sedang mengambil program internship. Saya sendiri diminta kampus untuk memenuhi 100 jam kerja, atau selama sebulan lebih sedikit. Saat pembagian jam kerja, kami dihadapi dua pilihan jam kerja. Ada jam kerja pagi dan jam kerja malam. Tentu banyak orang yang mengambil jam kerja pagi. Saya dengan santai mengangkat tangan saat mendapat giliran memilih jam kerja malam. Atasan saya pada saat itu sempat bertanya, apa saya nggak punya pacar, karena PD sekali memilih jam kerja malam. Saya bilang kalau saya nggak punya pacar dan lebih menikmati jalanan sepi di malam hari daripada macet-macetan di pagi hari. 

Singkat cerita, saya yang sedang jomblo saat itu, mulai berangkat kerja jam 8 malam, dan baru pulang jam 8 pagi dari kantor. Awal-awal kerja adalah masa terberat. Jam tidur saya otomatis terbalik. Jatah saya bekerja adalah 4 hari kerja, 3 hari libur. Hari libur biasanya saya habiskan ke kampus untuk mengikuti rapat keanggotaan organisasi mahasiswa di kampus. Intinya, hidup saya saat itu hanya kantor, rumah, dan kampus. Nggak ada yang namanya kencan-kencanan atau malam mingguan. Senang banget rasanya. Saya yang biasanya kedatangan teman cowok atau pacar malam-malam aja suka dibatasi jam malamnya. Karena ini bekerja, saya bebas berangkat malam dan pulang pagi. 

Saat kerja malam itu, saya juga pernah didatangi oleh sahabat saya. Sahabat saya ini laki-laki. Kami jadi bersahabat karena beberapa tahun sebelumnya saya sempat naksir dia, tapi dia malah naksir teman saya. Karena sama-sama menjadi 'korban penolakan', kami malah berteman. Sahabat saya waktu itu datang sekitar jam 3 pagi. Dia mengamati saya dari kepala hingga kaki. Katanya, "Lo desperate amat, sih, karena jomblo sampai harus kerja malam". Saya hanya membalasnya dengan tertawa. Mungkin kalau dilihat orang, saya seperti frustrasi. Tapi, saya benar-benar merasakan tenang dan bebas yang nggak pernah saya rasakan kalau saya punya pacar. I finally got my best(s) time. 

Mungkin itu kisah saya yang pernah single dan rasanya happy sekali. Ternyata, nggak buruk-buruk amat menjadi single pada saat itu. Masa single membuat saya lebih punya kesempatan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas diri sendiri. Nggak ragu juga untuk lebih mencintai diri sendiri. Bonusnya, jadi punya banyak teman baru juga karena somehow kita terkesan lebih menyenangkan ketika we put our happiness first. Kalau seumpama saya dihadapi dengan posisi itu lagi di masa sekarang, saya mungkin akan mengejar cita-cita saya untuk menjadi seorang jurnalis (atau mungkin sudah).

Semoga terhibur, ya, membaca tulisan saya di tantangan kali ini. Sampai bertemu di #30DWC besok! ๐Ÿ’™

Monday, October 5, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 5

 "My Parents"

Wah, agak berat ya topik ini...

For those who knows me, sejak tahun 2019 saya menyandang gelar baru sebagai yatim piatu. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya jika dalam waktu setahun, saya harus kehilangan kedua orang tua saya. Kali ini, saya mungkin akan bercerita dari sisi personal mereka saja, ya.

Bapak dan Ibu saya lahir di Solo. Keduanya asli Solo. Kampung keduanya mungkin hanya sejauh Depok dan Lenteng Agung. Saya tidak tahu menahu latar belakang bagaimana mereka akhirnya menikah. Tapi, sejauh yang saya tahu, Bapak adalah sosok kepala keluarga yang sangat bertanggung jawab.

Bapak dan Ibu menikah di tahun 1979. Bapak menikah di usia 45, sementara Ibu menikah di usia 28. Memang Bapak baru sempat menikah dan memikirkan dirinya sendiri di usia lanjut. Bapak mempunyai prinsip "family comes first", baru dirinya. Selepas menikah, Bapak memboyong ibu ke Depok. Kata Bapak, di tahun 1979 Depok seperti hutan tempat jin buang anak. Terbayang nggak? Kalau sulit membayangkannya, bayangkan saja hutan UI yang terbentang seluas kota Depok. Nah, seperti itu lah kira-kira. 

Bapak hidup di Solo hingga SMA. Ia lalu berkuliah di Fakultas Sastra UI. Saat itu, UI masih berada di Salemba dan Rawamangun. Selepas kuliah, Bapak mengabdikan diri menjadi dosen hingga pensiun di tahun 1999. Bapak juga sempat menjadi Kepala Direktorat Kesenian (sekarang sudah nggak ada) di bawah Kemendikbud. Saat menjabat profesi tersebut, Bapak kerap kali memimpin grup seniman tari Indonesia untuk tampil di sejumlah negara. Sepanjang hidup saya, saya menjadi saksi bahwa Bapak sangat mencintai sastra dan seni budaya. Sayang, kecintaannya itu tak seluruhnya menurun kepada saya. Saya hanya sempat meneruskan cita-citanya untuk berkuliah di kampus yang sama dengan Bapak. Hihi, maaf, ya, Pak.

Hingga menikah, Ibu saya menghabiskan waktunya di Solo. Masa sekolah dari TK hingga kuliah ia habiskan di kota itu. Rumah Ibu saya berada di Kauman. Kauman, yang sekarang terkenal dengan kampung Batik, berada di wilayah yang strategis dengan pusat kota. Kauman diapit dua jalan protokol, yaitu Jalan Slamet Riyadi dan Jalan Dr. Rajiman. Rumah Ibu saya terletak tepat di belakang kraton. Dekat dari Pasar Klewer, pusat perbelanjaan yang juga terkenal dengan Tengkleng Bu Edi-nya. Ibu saya pernah bercerita, katanya dulu ia kurang pergaulan. Mungkin karena penampilannya yang berkacamata tebal, berjepit rambut, dan rambut ikal panjang sepunggung menjadikannya ia sulit diajak bergaul. Kalau kata Tante saya, dulu Ibu saya itu anak rumahan, malas, manja, dan nggak jago masak. Mungkin kalau Ibu saya tidak menikah, beliau nggak akan belajar masak. Begitu kata Tante saya, hihi. 

Ada satu cerita yang nggak pernah saya lupa. Ibu saya pernah bercerita soal pengalamannya hidup di zaman G30S/PKI. Saat itu, Ibu saya masih duduk di bangku SMP. Ibu dan tante-tante saya selalu bersepeda saat pergi ke sekolah. Saat di jalan menuju rumah, ada razia PKI. Semua kendaraan di jalan, termasuk Ibu saya yang sedang bersepeda, diminta berhenti dan semua orang diminta tiarap di jalanan. Saat itu siang hari bolong. Kebayang dong panasnya. Kata Ibu saya, saat itu beliau sudah pasrah kalau ada serangan. Syukurnya, razia tak berlangsung lama dan ia bisa pulang dengan selamat.

Bapak saya pensiun ketika saya masuk SMP. Ketika orang tua teman saya yang lain masih aktif bekerja, Bapak saya lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Walau begitu, sebenarnya nggak ada yang berbeda dari sebelum Bapak pensiun. Dari kecil, kami dibiasakan hidup sederhana. Kelewat sederhana malah. Kami tidak pernah memiliki kendaraan pribadi. Tapi, Bapak memberi kami rumah untuk berteduh dari segala cuaca dan air mata. Bapak selalu memastikan kami berkecukupan walau seadanya. Bapak selalu 'ada' ketika kami merasa kecewa. Di mata saya, Bapak selalu melakukan kebiasaan baik. Bapak tidak pernah memaksa kami untuk melakukan hal yang dia mau. Dia pun nggak pernah mendorong kami berbuat sesuatu karena hal tersebut baik adanya. Bapak hanya melakukan kebiasaan baik dan kami mengikutinya. Sifat Bapak ini kebalikan dari Ibu. Di keluarga kami, Ibu sangat mendominasi. Ia manusia paling ambisius di muka Bumi (versi saya). Ia mau anaknya menurut, pintar, juara, menjaga nama baik, tidak malu-maluin, bersikap hormat dan tunduk padanya, tapi harus menerima segala kekurangan yang ada pada dirinya. Dulu, karena posisi saya sebagai anak, saya terima-terima saja sikap dan watak ibu saya ini. Ketika saya nggak bisa mengerjakan soal Matematika dan tangan saya ditusuk Ibu saking gemas, saya ya terima-terima saja. Saya takut menangis di hadapan Ibu saya, karena hanya akan membuat posisi saya semakin lemah dan sulit. Semakin saya tersiksa, Ibu akan semakin senang menghukum saya. Sesekali pernah melawan, eh makin sulit posisi saya. Jadi, saat itu, saya hanya berusaha tegar saja. Iya, I know, nggak baik.

Walau begitu, I love them unconditionally. Sayangnya, saya nggak bisa menghabiskan waktu banyak di waktu-waktu terakhir Bapak. Beliau koma hingga wafat. Sementara dengan Ibu, saya mempunyai satu tahun paling menyenangkan walau itu sangat menyiksa kondisi fisik Ibu. Satu tahun terakhir dan terdekat bersama Ibu. Satu tahun di mana saya menyadari bahwa Ibu saya selama ini menyayangi saya dengan segala kekurangan saya. Satu tahun di mana Ibu sangat-sangat bergantung kepada saya. Satu tahun di mana Ibu berusaha mengukir memori dengan anak dan cucu-cucunya. Walau saya tidak sempat memiliki waktu terakhir bersama Bapak, saya selalu bangga dengan Bapak. Begitu pun dengan Ibu. She's the strongest woman I've ever known. Kanker nggak mengalahkan, namun menguatkannya. 

Jika diberi kesempatan untuk mengulang waktu, saya nggak segan meminta Pak Amir dan Bu Kusrini menjadi kedua orang tua saya lagi.


I miss you, Pak, Bu ...

Al-Fatihah :')๐Ÿ’™

Sunday, October 4, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 4

"Places you want to visit"

Beberapa waktu terakhir, muncul rasa ingin menghabiskan sisa waktu di Jogja--tepatnya di Kaliurang. Nggak cuma sebatas keinginan, sih. Lebih ke ... mimpi. Saya percaya mimpi bisa menjadi kenyataan kalau kitanya benar-benar berusaha untuk mewujudkannya. Punya rumah di pinggir sawah, nggak jauh dari bukit dan pantai, bertetangga dengan orang-orang lokal, bercengkerama dengan udara dan alam di sana. Ah ๐Ÿ’™ Makanya, selepas pandemi ingin banget solo traveling ke Jogja, lalu ke Kaliurang, dan melihat-lihat situasi di sana. 

Saya juga ingin banget ke Lombok dan Labuan Bajo. Saya ingin menjelajahi semua pantai yang ada di sana. Walau suka cuaca dingin, saya ini anak pantai banget, hihi. Saya nggak bisa berenang, tapi senang sekali menghabiskan waktu di pantai dan melakukan watersport atau sekadar snorkeling. Saya suka banget membenamkan kaki dalam-dalam di pasir pantai. Rasanya tuh hangat-hangat dingin menyenangkan. 

Saya ingin juga pergi ke Aceh. Saya ingin sekali mengunjungi museum Tsunami dan Kilometer Nol di Sabang. 

Kalau di luar negeri, saya ingin sekali ke Penang. Saya ingin menyusuri jalan-jalan di Penang sambil menikmati wall art dan wall mural. Saya juga ingin mencicipi kuliner khas Penang, terutama warung-warung kopinya.

Negara lain yang saya ingin kunjungi itu New Zealand. Saya kepingin banget jalan-jalan pakai Campervan menyusuri kota-kota di sana. Ini akibat nonton vlog-nya Ditto dan Ayudia Bing Slamet, sih, hehe. Kebayang parkir di pinggir danau, tidur di bawah taburan ribuan bintang, main gitar sambil barbeque-an, bangun tidur mendengar suara gemericik air, memotret keindahan alam sekitar dengan kamera kesayangan, duh ๐Ÿ’™

Itu saja, sih, yang ada di benak saya tentang tempat-tempat yang truly-madly-deeply ingin saya kunjungi. Semoga terhibur ya bacanya, hehe. See ya di #30DWC besok!

Saturday, October 3, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 3

 "A memory"

Menjalani status baru sebagai yatim piatu dalam 2 tahun terakhir, menjadikan hidup saya kini dipenuhi banyak memori atau ingatan tentang kedua orang tua saya. Jadi bingung kalau disuruh milih satu memori tentang mereka yang terlintas di kepala. 

Okay, kalau menceritakan memori tentang mendiang kedua orang tua pasti nggak akan ada habisnya, saya akan menceritakan sebuah memori lain. Memori ini juga tentang kehilangan. Kehilangan besar pertama saya di 2004, yaitu kehilangan nenek saya.

Saya lupa pernah atau tidak menceritakan di blog ini tentang nenek saya yang saya panggil Mbah Putri. Selain Bapak, Mbah Putri adalah salah satu orang yang menyayangi saya unconditionally. Mbah Putri ini adalah ibunya Ibu. Kebetulan, saya satu-satunya cucu perempuan di keluarga besar Ibu. Setiap kali kami mudik ke Solo atau Mbah Putri mengunjungi kami di Depok, saya selalu mengejar kesempatan untuk tidur bersama beliau. Setiap mau tidur, beliau selalu menceritakan tentang masa kecil Ibu dan tante-tante saya. Saya sungguh menikmatinya. Beliau tidak pernah menggertak atau memarahi saya, sekalipun saya dan cucu-cucu beliau lainnya nakal atau berbuat yang menggusarkan hatinya. Bagi saya, Mbah Putri adalah manusia paling pemaaf di seantero jagat saya. 

Suatu hari di bulan Februari tahun 2004, saya mudik saat libur sekolah. Saat itu, saya kelas 2 SMA. Saya ingat sekali Marcell baru saja mengeluarkan debut lagunya yang berjudul "Firasat'. Video klipnya selalu terputar di televisi yang berada di ruang keluarga rumah Mbah Putri. Di hari kepulangan saya ke Depok, saya selalu patah hati. Hati saya selalu tertancap di Solo--di rumah Mbah Putri. Saat berpamitan, beliau mendekap saya erat sekali. Biasanya, kami suka menghindar kalau dipeluk atau dicium-cium Mbah Putri. Seperti judul lagu Marcell, firasat 'mengajak' saya untuk memeluk balik Mbah Putri. Saat di taksi menuju stasiun, mata saya tak henti menatap jendela belakang taksi--menatap lekat-lekat ke arah beliau yang melambaikan tangan ke taksi kami, hingga lepas dari jangkauan matanya. Ingatan saya membingkai memori itu, tentang daster yang beliau pakai, tentang lambaian tangannya, tentang teduh dan sendu tatapan terakhirnya itu. 

Mbah Putri berpulang dua bulan kemudian. Ia wafat di dalam tidurnya. Kehilangan besar pertama yang membuat saya sadar kematian begitu dekat adanya. Kehilangan yang membuka mata bahwa apa pun yang bernyawa ketika sudah waktunya tiba, tidak bisa kembali. Tentang yang tidak kembali, kini menjadi memori.

Sampai sekarang, jika tak sengaja mendengar lagu "Firasat", bingkaian memori itu kembali lagi. Memori terakhir saya membingkai Mbah Putri di ingatan saya. :")

Ahaha, jadi sedih ๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜…

Terima kasih sudah menyempatkan baca. Sampai bertemu di #30DWC besok, ya! See ya๐Ÿ’™

Friday, October 2, 2020

#30DaysWritingChallenge | DAY 2

 "Things that makes you happy"


Wah, banyak! Hahaha ...

Tapi, kalau ditanya pada saat pandemi begini, saya akan menjawab dengan lantang: JALAN-JALAN. Betapa rindunya jalan-jalan. Saya bahkan sempat berencana seselesainya pandemi nanti, saya mau solo traveling. Terakhir jalan-jalan ke luar kota yang agak lama itu Juli 2019 lalu ke Jogja. Udah rindu Jogja mengharu biru. Dua tahun terakhir, saya juga lagi suka jalan-jalan ke museum. Udah hampir setahun kayaknya belum ke museum lagi, huhu. 

Saya juga suka banget staycation. Ini masih ada hubungannya dengan jalan-jalan, sih. Saya penganut fakir diskon, terlebih di waktu-waktu tertentu. Walau sekarang hotel-hotel sedang banting harga dan menggiurkan, saya belum berani sama sekali buat staycation :(

Memasak juga bikin saya happy. Apalagi, kalau ada menu baru yang sampai mimpi-mimpi ingin dieksekusi. Tapi, pas lagi WFH akhir-akhir ini, mood masak saya lagi menguap entah ke mana. G*food atau gr*bfood to the rescue, deh.

Memasak ada hubungannya dengan makan. Makan jelas-jelas bikin saya happy. Selain masak makanan yang saya suka, saya juga suka menjajal tempat makan, bakery, atau warung kopi baru. Akun IG (at)darihaltekehalte yang meracuni saya, hehe. Racuuun bener, deh, pokoknya.

Ada satu hal lainnya yang bikin saya selalu happy, tapi susah dilakukan saat pandemi. Tidak lain dan tidak bukan: me time. Me time yang rutin saya lakukan sebelum pandemi itu biasanya grocery dan nonton bioskop sendiri. Bekerja di kantor juga salah satu bentuk me time saya, sih. Ngobrol dan makan bareng sahabat-sahabat di kantor tuh benar-benar menyenangkan. Kalau lagi nonton film di bioskop dan menunggu jam tayang, saya suka ngalor ngidul ke toko buku, makan sendirian, atau sekedar cuci mata di toko sepatu. Bayanginnya aja udah bahagia, walau kadar bahagianya tentu akan lebih besar kalau dilakukan langsung, ya :)

Saat bekerja, baik WFO atau WFH, saya suka banget mendengarkan musik kencang-kencang pakai earphone sambil nyanyi. I know, gak baik sama sekali. Tapi, sesekali dilepas, kok. Hihi.

Selain itu, saya juga punya kesukaan remeh. Menatap langit biru dari jendela dan mencium aroma setelah hujan itu benar-benar hal remeh nan membahagiakan.

Ngobrol dengan teman-teman di WAG selama pandemi ini juga terasa menyenangkan. Ada 1 WAG berisi orang-orang dari kantor lama saya yang hampir tiap hari ada saja bahan yang diobrolin dan rutin bertemu minimal setahun sekali. Karena pandemi, mengobrol ngalor ngidul di WAG asyik-asyik saja ternyata. Kebetulan, ada 1 teman di WAG tersebut yang satu keluarganya positif Covid. Rasanya, senang dan bahagia banget bisa berbagi perhatian dan tentunya (teman saya ini) mendapat perhatian dari sahabat walau tak bisa bertemu. 

The last thing that makes me happy is feeling loved -- merasa dicintai. Enough said ๐Ÿ’™


Sampai bertemu di #30DWC besok, ya ๐Ÿ˜Š