Friday, February 3, 2023

Cerita Haru

Saya mau menceritakan sebuah kisah haru yang terjadi beberapa hari lalu, saat saya menjemput anak saya yang sedang bermain di rumah mertua. Saya hendak memesan Grabcar untuk pulang ke rumah. Biasanya, setelah dapat, driver akan chat untuk memastikan alamat atau sekadar konfirmasi bahwa ia akan segera menuju ke titik penjemputan. Tapi, beberapa waktu setelah saya mendapat driver, driver tak kunjung menghubungi saya.

Saya lalu berninisiatif untuk menelepon si driver (baca: malas ngetik chat :p). Pas diangkat, ada suara perempuan di seberang. Lho, bukannya tadi drivernya laki-laki, ya – pikir saya. Tapi, saya nggak lantas berpikir macam-macam, mungkin saja itu si istri yang membantu pekerjaan suaminya. Tapi, percakapan kami selanjutnya sungguh membuat saya terharu.

Jadi, perempuan ini adalah ibu dari si driver. Ibu ini memberitahu saya bahwa anaknya tuli. Dia membolehkan saya membatalkan order ataupun nggak masalah dengan kondisi si anak sehingga mau mengambil orderan. Tentu saya nggak masalah, selama si anak apik berkendara dan tahu jalan. Sang ibu pun membalas, kalo anaknya mahir menggunakan google maps. Saya tenang, sekaligus haru. Saya merasakan kekhawatiran dari suaranya. Sebagai sesama ibu, saya memahaminya. Sebagai sesama ibu, saya merasa si ibu ‘menitipkan’ anaknya pada saya.

Perjalanan menuju rumah memang tak terlalu lama, maksimal 15 menit jika macet sekali. Paling cepat hanya 9-10 menit dari rumah mertua. Tak lama, si driver datang. Namanya Faisal. Ia membawa mobil Innova keluaran lama. Saya pun segera masuk ke mobil dan langsung agak menyesal. Kenapa nggak duduk di depan saja, ya? Pasti akan mudah berkomunikasi. Tapi, ya sudahlah. Mas Faisal ini lalu mengetik sesuatu di HP-nya. Lalu, dia meminta saya membacanya. Tulisannya: “Maaf, saya tuna rungu”. Dalam hati agak haru, kenapa harus minta maaf. Pernah dengar bahwa tuna rungu bisa membaca gerak bibir, terpaksa saya membuka masker dan berkata pelan-pelan: tidak apa-apa, kamu faisal? Dia lalu mengangguk dan kami pun berjalan menuju rumah saya.

Dalam perjalanan, saya memerhatikan si driver. Makin terharu setelah menyadari dia memiliki kondisi super duper spesial selain tuli. Dan saya dalam hati bersyukur dan menangis kecil karena salut kepada Faisal. Tanpa melihat kondisinya, cara mengemudi Faisal sungguh hati-hati dan penuh perhitungan. Ia sama sekali nggak panik dan apik dalam mengendalikan setir, spion, dan persneling. Beebrapa kali ia menggunakan tangannya untuk ‘bertanya’ pada saya mengenai arah jalan, apa belok kanan/ kiri atau lurus. Karena saya menanggapinya juga dengan tangan, mas B nyeletuk: ibu, kenapa nggak ngomong buat ngasi tahu arahnya?. Lalu, saya menjelaskan bahwa om drivernya nggak bisa mendengar. Dan kalau nggak bisa dengar dia juga nggak bisa bicara. Lalu mas B menyahut: om-nya keren nyetirnya! Yes, indeed. *menangis kecil lagi*

Sampai di rumah, saya turun dan mengucapkan satu-satunya bahasa isyarat yang saya bisa, yaitu terima kasih. Faisal cukup kaget melihat saya tahu bahasa isyarat dan membalasnya dengan bahasa isyarat “sama-sama”. Saya tak henti-hentinya kagum dan salut kepada Faisal dan sang ibu. Semoga saya sudah berhasil ‘menjaga’ anaknya selama perjalanan. Saya juga bersyukur dengan keadaan yang saya punya sekarang, walau tentu banyak kekurangan dan kelebihannya.

Satu lagi, saya bersyukur dan berterimakasih kepada Grabcar Indonesia karena telah memberi kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk bisa berkarya dan bekerja. Semoga ada Faisal-Faisal lain yang bersemangat untuk terus berkarya dan bekerja.


Wednesday, January 25, 2023

Duka Cita

Saya kira, setelah Januari menjadi bulan penanda kehilangan orangtua saya di tahun 2018 dan 2019, saya tak akan bertemu lagi kehilangan. Ya tentu ada saja kehilangan-kehilangan berikutnya yang tak sebesar kehilangan kedua orang tua. Namun, Januari tahun ini, walau tak seberat kehilangan orang tua, saya kehilangan satu sosok yang berjasa di hidup saya.

Namanya Mbak Ida. Mbak Ida menjadi mentor sekaligus atasan saat saya pertama kali memasuki dunia kerja pada tahun 2009. Saat itu, saya mengambil internship di kampus saya. Pagi-sore saya bekerja dan malamnya saya kuliah. Cukup menyenangkan, karena selain jadi punya uang saku sendiri, saya banyak bertemu orang dan teman baru. Mbak Ida adalah sosok yang mengayomi, supel, dan sabar. Dia juga tidak segan membantu dan memberi saran mengenai pekerjaan yang saya lakukan. Menegur pun tidak pernah dengan nada tinggi apalagi menyindir (saat mengetik ini pun saya terkekeh sendiri mengingat nada suaranya saat menegur, pasti diawali dengan "ah prita" lalu cekikikan). Mbak Ida, di mata saya, menjadi sosok atasan yang diidam-idamkan oleh semua orang. Sayangnya, kebersamaan saya dengan Mbak Ida gak berlangsung lama. Posisi Mbak Ida digantikan oleh orang yang sifat dan sikapnya berbanding 180 derajat dengan Mbak Ida (duh, kalau kamu baca iniu mbak F, iya orang itu kamu, haha). Thank God, saya udah bisa ketawa mengingatnya. 

Walau sudah tidak berada di bawah Mbak Ida, saya dan teman-teman magang lainnya, tentu masih harus saling membantu pekerjaan yang ada. Gak boleh hanya terpaku pada satu pekerjaan saja. Saya juga masih berkesempatan jalan bareng atau sekadar berkumpul makan siang bersamanya. Saya juga menjadi salah satu saksi hidup di perjalanan hidup Mbak Ida, saat ia harus ditinggal suaminya berpulang. Betapa tangguh Mbak Ida menuntun keranda suaminya di antara makam-makam di Pemakaman Jeruk Purut, menuju liang lahatnya, tanpa setetes pun air mata di pipinya. 

Di awal tahun 2011, saya lulus kuliah dan kontrak magang tidak diperpanjang. Saya lalu bekerja di salah satu fakultas di kampus dan sebulan setelahnya menjadi pegawai tetap di perusahaan penerbitan. Walau begitu, hubungan saya dan Mbak Ida tetap baik walau hampir tidak pernah bertemu. Kami saling follow IG satu sama lain. Gak jarang saling mengomentari postingan atau story masing-masing. Di satu sisi, saya kagum. Dia gak jengah masih keep in touch dengan mantan bawahannya belasan tahun lalu. 

Pertemuan terakhir saya dengan Mbak Ida adalah di tahun 2018. Saya agak terkejut dia melayat saat Bapak meninggal. Bertahun-tahun tidak bertemu, dia menyempatkan diri untuk datang dan berbelasungkawa. Kami berpelukan erat. Kami saling melempar obrolan. Saya ingat, berulang kali mengucapkan terima kasih kepadanya karena telah menyempatkan untuk datang. 

Hingga pertengahan bulan ini, saya mendapat kabar bahwa Mbak Ida menjalani operasi di bagian kepala. Sebenarnya, beberapa bulan lalu saya mendapat informasi dari seorang rekan bahwa Mbak Ida memang sedang mendapat musibah sakit yang cukup berat. Namun, saya kira sudah baikan dan beraktivitas seperti biasa. Ternyata, penyakit tersebut bermestatase ke kepala. Kondisinya sebelum operasi pun sudah setengah sadar. Sudah hampir tidak mengenali orang-orang di sekitarnya. Sontak mendengar dan membaca berita itu saya menangis di kubikel kantor. Setengah hari saya menangisi Mbak Ida. Saya berdoa setengah meratap agar bisa diberi kesempatan bertemu Mbak Ida dalam keadaan hidup. Namun, takdir Allah berkata lain. 21 Januari 2023 lalu, Mbak Ida berpulang, di tengah keluarganya. Innalillahi wa innailaihi roji'un. 

 

Dear Mbak Ida,

Mungkin aku memang belum sempat bertemu Mbak Ida di waktu-waktu terakhir Mbak Ida. Tapi, insya Allah doaku sampai untuk Mbak Ida. Aku bersaksi Mbak Ida orang baik. Mbak Ida udah gak sakit. Udah sehat banget sekarang. Selamat jalan, Mbak Ida. Selamat bertemu kembali dengan suami Mbak Ida. Semoga Allah mengasihi Mbak Ida, penyakit-penyakitmu menghapus dosa, dan amal ibadahmu diterima. Sampai bertemu lagi, ya, Mbak. :")