Saya kira, setelah Januari menjadi bulan penanda
kehilangan orangtua saya di tahun 2018 dan 2019, saya tak akan bertemu lagi
kehilangan. Ya tentu ada saja kehilangan-kehilangan berikutnya yang tak sebesar
kehilangan kedua orang tua. Namun, Januari tahun ini, walau tak seberat
kehilangan orang tua, saya kehilangan satu sosok yang berjasa di hidup saya.
Namanya
Mbak Ida. Mbak Ida menjadi mentor sekaligus atasan saat saya pertama kali
memasuki dunia kerja pada tahun 2009. Saat itu, saya mengambil internship di
kampus saya. Pagi-sore saya bekerja dan malamnya saya kuliah. Cukup
menyenangkan, karena selain jadi punya uang saku sendiri, saya banyak bertemu
orang dan teman baru. Mbak Ida adalah sosok yang mengayomi, supel, dan sabar.
Dia juga tidak segan membantu dan memberi saran mengenai pekerjaan yang saya
lakukan. Menegur pun tidak pernah dengan nada tinggi apalagi menyindir (saat
mengetik ini pun saya terkekeh sendiri mengingat nada suaranya saat menegur,
pasti diawali dengan "ah prita" lalu cekikikan). Mbak Ida, di mata
saya, menjadi sosok atasan yang diidam-idamkan oleh semua orang. Sayangnya,
kebersamaan saya dengan Mbak Ida gak berlangsung lama. Posisi Mbak Ida
digantikan oleh orang yang sifat dan sikapnya berbanding 180 derajat dengan
Mbak Ida (duh, kalau kamu baca iniu mbak F, iya orang itu kamu, haha). Thank
God, saya udah bisa ketawa mengingatnya.
Walau
sudah tidak berada di bawah Mbak Ida, saya dan teman-teman magang lainnya,
tentu masih harus saling membantu pekerjaan yang ada. Gak boleh hanya terpaku pada
satu pekerjaan saja. Saya juga masih berkesempatan jalan bareng atau sekadar
berkumpul makan siang bersamanya. Saya juga menjadi salah satu saksi hidup di
perjalanan hidup Mbak Ida, saat ia harus ditinggal suaminya berpulang. Betapa
tangguh Mbak Ida menuntun keranda suaminya di antara makam-makam di Pemakaman
Jeruk Purut, menuju liang lahatnya, tanpa setetes pun air mata di
pipinya.
Di
awal tahun 2011, saya lulus kuliah dan kontrak magang tidak diperpanjang. Saya
lalu bekerja di salah satu fakultas di kampus dan sebulan setelahnya menjadi
pegawai tetap di perusahaan penerbitan. Walau begitu, hubungan saya dan Mbak
Ida tetap baik walau hampir tidak pernah bertemu. Kami saling follow IG satu
sama lain. Gak jarang saling mengomentari postingan atau story masing-masing.
Di satu sisi, saya kagum. Dia gak jengah masih keep in touch dengan mantan
bawahannya belasan tahun lalu.
Pertemuan
terakhir saya dengan Mbak Ida adalah di tahun 2018. Saya agak terkejut dia
melayat saat Bapak meninggal. Bertahun-tahun tidak bertemu, dia menyempatkan
diri untuk datang dan berbelasungkawa. Kami berpelukan erat. Kami saling
melempar obrolan. Saya ingat, berulang kali mengucapkan terima kasih kepadanya
karena telah menyempatkan untuk datang.
Hingga
pertengahan bulan ini, saya mendapat kabar bahwa Mbak Ida menjalani operasi di
bagian kepala. Sebenarnya, beberapa bulan lalu saya mendapat informasi dari
seorang rekan bahwa Mbak Ida memang sedang mendapat musibah sakit yang cukup
berat. Namun, saya kira sudah baikan dan beraktivitas seperti biasa. Ternyata,
penyakit tersebut bermestatase ke kepala. Kondisinya sebelum operasi pun sudah
setengah sadar. Sudah hampir tidak mengenali orang-orang di sekitarnya. Sontak
mendengar dan membaca berita itu saya menangis di kubikel kantor. Setengah hari
saya menangisi Mbak Ida. Saya berdoa setengah meratap agar bisa diberi
kesempatan bertemu Mbak Ida dalam keadaan hidup. Namun, takdir Allah berkata
lain. 21 Januari 2023 lalu, Mbak Ida berpulang, di tengah keluarganya.
Innalillahi wa innailaihi roji'un.
Dear
Mbak Ida,
Mungkin
aku memang belum sempat bertemu Mbak Ida di waktu-waktu terakhir Mbak Ida.
Tapi, insya Allah doaku sampai untuk Mbak Ida. Aku bersaksi Mbak Ida orang
baik. Mbak Ida udah gak sakit. Udah sehat banget sekarang. Selamat jalan, Mbak
Ida. Selamat bertemu kembali dengan suami Mbak Ida. Semoga Allah mengasihi Mbak
Ida, penyakit-penyakitmu menghapus dosa, dan amal ibadahmu diterima. Sampai
bertemu lagi, ya, Mbak. :")