Saya mau menceritakan sebuah
kisah haru yang terjadi beberapa hari lalu, saat saya menjemput anak saya yang
sedang bermain di rumah mertua. Saya hendak memesan Grabcar untuk pulang ke
rumah. Biasanya, setelah dapat, driver akan chat untuk memastikan alamat atau
sekadar konfirmasi bahwa ia akan segera menuju ke titik penjemputan. Tapi,
beberapa waktu setelah saya mendapat driver, driver tak kunjung menghubungi
saya.
Saya lalu berninisiatif untuk
menelepon si driver (baca: malas ngetik chat :p). Pas diangkat, ada suara
perempuan di seberang. Lho, bukannya tadi drivernya laki-laki, ya – pikir saya.
Tapi, saya nggak lantas berpikir macam-macam, mungkin saja itu si istri yang
membantu pekerjaan suaminya. Tapi, percakapan kami selanjutnya sungguh membuat
saya terharu.
Jadi, perempuan ini adalah ibu
dari si driver. Ibu ini memberitahu saya bahwa anaknya tuli. Dia membolehkan
saya membatalkan order ataupun nggak masalah dengan kondisi si anak sehingga
mau mengambil orderan. Tentu saya nggak masalah, selama si anak apik berkendara
dan tahu jalan. Sang ibu pun membalas, kalo anaknya mahir menggunakan google
maps. Saya tenang, sekaligus haru. Saya merasakan kekhawatiran dari suaranya. Sebagai
sesama ibu, saya memahaminya. Sebagai sesama ibu, saya merasa si ibu ‘menitipkan’
anaknya pada saya.
Perjalanan menuju rumah memang
tak terlalu lama, maksimal 15 menit jika macet sekali. Paling cepat hanya 9-10
menit dari rumah mertua. Tak lama, si driver datang. Namanya Faisal. Ia membawa
mobil Innova keluaran lama. Saya pun segera masuk ke mobil dan langsung agak
menyesal. Kenapa nggak duduk di depan saja, ya? Pasti akan mudah berkomunikasi.
Tapi, ya sudahlah. Mas Faisal ini lalu mengetik sesuatu di HP-nya. Lalu, dia
meminta saya membacanya. Tulisannya: “Maaf, saya tuna rungu”. Dalam hati agak
haru, kenapa harus minta maaf. Pernah dengar bahwa tuna rungu bisa membaca
gerak bibir, terpaksa saya membuka masker dan berkata pelan-pelan: tidak
apa-apa, kamu faisal? Dia lalu mengangguk dan kami pun berjalan menuju rumah
saya.
Dalam perjalanan, saya
memerhatikan si driver. Makin terharu setelah menyadari dia memiliki kondisi
super duper spesial selain tuli. Dan saya dalam hati bersyukur dan menangis kecil
karena salut kepada Faisal. Tanpa melihat kondisinya, cara mengemudi Faisal
sungguh hati-hati dan penuh perhitungan. Ia sama sekali nggak panik dan apik
dalam mengendalikan setir, spion, dan persneling. Beebrapa kali ia menggunakan
tangannya untuk ‘bertanya’ pada saya mengenai arah jalan, apa belok kanan/ kiri
atau lurus. Karena saya menanggapinya juga dengan tangan, mas B nyeletuk: ibu,
kenapa nggak ngomong buat ngasi tahu arahnya?. Lalu, saya menjelaskan bahwa om
drivernya nggak bisa mendengar. Dan kalau nggak bisa dengar dia juga nggak bisa
bicara. Lalu mas B menyahut: om-nya keren nyetirnya! Yes, indeed. *menangis
kecil lagi*
Sampai di rumah, saya turun dan
mengucapkan satu-satunya bahasa isyarat yang saya bisa, yaitu terima kasih.
Faisal cukup kaget melihat saya tahu bahasa isyarat dan membalasnya dengan
bahasa isyarat “sama-sama”. Saya tak henti-hentinya kagum dan salut kepada
Faisal dan sang ibu. Semoga saya sudah berhasil ‘menjaga’ anaknya selama
perjalanan. Saya juga bersyukur dengan keadaan yang saya punya sekarang, walau
tentu banyak kekurangan dan kelebihannya.
Satu lagi, saya bersyukur dan
berterimakasih kepada Grabcar Indonesia karena telah memberi kesempatan bagi
penyandang disabilitas untuk bisa berkarya dan bekerja. Semoga ada
Faisal-Faisal lain yang bersemangat untuk terus berkarya dan bekerja.